PELAKU:
Gadis
Bujang
Orang tua
Si Bapa
Mmanda Sabari
KEPENDEKAN KAN ISINYA
Maharaja Takutar telah ditaklukkan oleh Rawana, kerajaannya dirampas, karena Rawana mendengar kabar dari ahli nujum, bahwa Bujangga anak dari Maharaja Takular nanti akan jadi jodohnya puteri Bebasari, anak dari Bangsawan Sabari,
Rawana, tiada hendak percaya pada peruntungan yang telah ditentukan lebih dahulu. terus memisahkan kedua kecintaan itu, serta mengurung Bebasari dalam terungku. dijaga dengan kokoh oleh jin dan peri,
Ketika Bujangga telah berumur, ia bermimpi melihat wajah Bebasari, terus jadi asyik berahi
Bujangga menanyakan arti mimpinya pada ayahnya,
Si Ayah menerangkan bahwa Bebasari tunangan Bujangga. Bujangga akan pergi mencari tunangannya, tetapi ditahan oleh ayahnya dan mamanda Sabari. Dakarati dan Sahainaracu menyuruh tuntut Bebasari,Bujangga, karena keras cintanya, tiada mengindahkan perkataan Sabari melainkan pergi meninggalkan negerinya, menempuh tempat Rawana menerungku Bebasari, yang ditunjukankan oleh Sabainaracu.Bujangga mengalahkan laskar dan rakyat Rawana . mengusir Rawana dari kerajaan yang dirampasnya serta melepaskan Bebasari dari kurungan,
Bujangga kawin dengan Bebasari, seperti yang telah dijanjikan oleh peruntungan alam dari mulanya,
PEMBUKAAN PERTAMA
Toneel gelap, di-tengah.2 seorang gadis, berpakaian segala putih, rambut terurai sedang berlutut, tangan terikat dengan rantai begat. setengah main disoroti dengan cahaya merah, datangnya dari atas
Dalam kelam ini terdengar suara melulung
PROLOOG
O, Gelap, O Jalahat
O, Rabbi, penyusun riwayat,
Bukakan pintu beta piatu,
kehilangan bapa, ketipuan ibu.
O, Alam yang kelam,
tempat bermain tipu-tipuan.
berilah beta cahaya sami
terangkan dakhil didalam hati.Cahaya bata2 menerangi gadis, berkata per-lahan2, makin lama makin keras
GADIS
Akh, untungku putung.
Bilakan lepas dari dikurung.
O, kakanda,
Lama sudah dikandung dada,
Lihatlah rantai melilit badan,
sebal, suara saman,
Pandanglah beta,
berduka cita.
Dengarkan sedan, degup derita,
harapan besar pada kakanda.
Buyut berahi beta bernanti,
haus hati, hayat hajati.
O, aku, kutunggu tunggu
pembawa behari laskar soldadu.
O, harapan, beta perawan,
Pada Bujangga hati pahlawan.
Lepaskan beta,
O, kakanda.
Lepaskan, lepaskan, o, lepaskan,
Penuh duka derita badan.
Marilah mari,
kakanda diri.
Pagutlah peluk, asmara kami
kibarkan Jaya, kekasih hati.
Cahaya berangsur hilang, toneel gelap seperti sediakala.1)buyut =gemetar; 2) bahari = bahaduri = sateriaPEMBUKAAN KEDUA
Toneel tiada pakai voetlicht, pemandangan di tepi hutan, kampung sunyi, sebelah kebelakang pemandangan gunung gunung di terangi oleh cahaya hijau.. Sebelah dimuka agak kekanan orang tua duduk diatas bangku dari ranting dan dahan bertupang dagu. Dimukanya berlutut seorang bujang menutup matanya dengan telapak tangan, sedang terpekur.
Suling berbunyi sayu-sayu dibelakang layar, makin lama makin lambat . sampai hilang sama sekali..
Orang tua menggeleng lambat lambat, Bujang mengangkat kepalanya, berkata perlahan dan bersedih.
BUJANG
Bapaku, o, bapaku,
Alangkah sangatnya beta terganggu,
Gelap gelita, gegap gempita,
Alam angkasa di mata beta,
Sedang meraba ditengah kelam,
sedang diragu-ragu haluan,
Tersadar haus,
Rasakan putus,
Lelah letai, lesu dan lenyai,
Tersiur, terserai, terasa cerai,
Tubuh dan sukma,
O, ayahanda
ORANG TUAMemegang, bahu kanan si Bujang, meng-usap usap kepalanya....
Lambat lembut, lega berlagu.
Anakku.
Ingat awan,
berimata tajam.
Ingat ranting,
berkuping nyaring.
Ingat batu pandai berkata,
banyak laskar titan dewata.
Akan belukar berular dakar.
BUJANG
Biarkan alam sama mendengar.
Penuh piala penanai kalbu
Berdebar darah dalam dadaku
Pahit pedis, panas perindu.
Patut kami papar tanyakan,
Kan jadi obat perarai demam.Orang tua berdiri, si Bujang ikut berdiri. Si ayah memandang mata anaknya, menggeleng-geleng, heran terpekur.
Sabar dahulu dengarkan anak,
BUJANG
Dalam dadaku sudah menyanak.Orang tua duduk kembali, menyapu kening dengan jari. Bujang berlutut sekali lagi, menekurkan kepalanya.
Orang tua berkata sendiri.
ORANG TUA
Inilah saat yang kutakuti,
inilah waktu yang beta nanti
Kalau menyingsing fajar di hati
Menyuluhi lembah limbur bahari.
Inilah mega mengandung Batin,
Membawa rahasia di ujung sikin.
Tandakan makmur kota dan insan,
Kalau pemuda tersadar badan,
Jika tersimbah gelombang dada,
pecah parit pengempang paja.Keduanya bermenung. Cahaya dibelakang lindap lindap layu, cahayapun ber-tukar2, hijau, merah, kuning, dan kilatpun bermain dimuka toneel. Sehabis permainan cahaya ini, toneel dibelakang gelap, voetlicht dihidupkan terang-terang laras, tempat orang tua dan anak itu duduk lebih diterangkan.
Bujang bergerak memegang tangan kiri si Ayah dengan kedua belah tangannya dan berkata dengan lembut dan ter-henti henti.
BUJANG
Ayahku,
Tabirkan mimpi dalam beradu..........
Beta bermain ................ bergurau.......... berburu,
Entah tasik ................ entah tapian .............
Jalal 1 Jabal , jumantera 3 awan.......
Terbujur..................... terlintang,
Tertidur...................... terbentang.....
Rimbun riapnya tanam-tinamanRampak rampai rimba dan hutan......
Ombak bersorai berderai-derai,
Memecah ke pantai melambai-lambai
O, ayah,
Hijau padangnya sebagai katifah
Jingga warna padi di sawah.
Tanahnya perak,
sita sumarak.
Bergoa emas, berkolam minyak,
Batu hitam intannya banyak,
Terbang terkepai, burung dan murai,
berjoget, berlagu berbagai-bagai,
Bad bertiup berombak berbisik,
seperti serunai seruling musik.................
Ayahku,
Beta pun tajup memandang itu.....
bukan suatu bukan berdua,
beta melihat orang berkala,
Mereka bisul,
berhati masgul.
Setengahnya ada serupa beruk,
setengahnya yang lain hati pelanduk.Setengah ada berlidah dua, setengah bermata berlaksa juta,
setengah meraba seperti sibuta, hilang rupanya pikir pelita.
Mereka berlari,
kian kemari,
Seperti sato khewan biadab,
Dihalau cambuk cemeti mualab.
Beta bertanya pada mereka,
Gempa jawabnya gegap gempita,
Ayahanda.
hiba hatiku,
hilang harapku,
sedih sungguh seperti sembilu. Hilang harganya hutan yang garu.
Loka yang limbur,
laut bersimbur,
menangis meratap,
meraung melulung,
mengemis menggegap,
menampung untung
Daun dan dahan,
tersedan-sedan,
Pawna mendayu mengatakan rindu.
Ayahku,
gementar dan lesu, lengan anggota,
terdengar tagar tangkas dewata.
Terdengar suara ditengah kelam
Nama pemuda jadi sesalan.
Beta terkejut, tidur tergegau
sampai sekarang menanggung risauKedua berhenti sebentar......
Si Bujang tinggal berlutut, seperti orang merindu.
Si Ayahnya memandang anaknya dengan hiba kasihan, lalu berdiri selaku penat, berjalan dua tiga langkah kemuka..
SI BAPA
O, Ilahi,
Tuhan Rabbani.
O, malang, celaka beta,
Inilah sumpah
Ini amarah,
Rasul dan Nabi, Tuhan Dewata.
Lama sudah,
Beta menyalah,
Segala tenung nujum yang pandai,
Jika datang,
Fajar menjalang,
Anak seorang bakal bercerai.
Lama beta
Meragu muda,
Supaya terpendam mana yang sukar.
Anak molek Biar bersolek,
Biar hati jangan tersadar.
O, mimpi
Cinta berahi.
Turun di hati muda belia,
Tanda sampai
Bujang semampai,
Merebut hak Dewi yang Mulya.Si Bapa berdiri disisi Bujang.
(Toneel dipasang voetlicht). Dibelakang cahaya lindap, bertukar-tukar hijau dan kuning dan merah jambu.
SI BAPA
Dengarlah baik-baik beta berkata.
BUJANG
O, ayahku, terangi beta dengan pelita.
Supaya sempurna, sejahtera badanku,
Menempuh Hidup, menurutkan kalbu.
SI BAPA
Hai anakku Kesuma negeri,
Pemagar halaman, Mahkota Puri.
Samsu oleh Waktu yang Tiba,
Harapan bagi Tanah bicana,
Lupakan mimpimu, yang datang menyamar,
Lemparkan Khayal, yang sukar-sukar,
Itulah obat penglipur Jara,
Itulah jalan yang tiada bermara.Si Bapa berdiam........
Bujang berdiri, Bapa menurut gerakannya dengan matanya.
Bujang bersurut setindak.
BUJANG
Ayahku, kalau itu yang ayah sebut,
Tiadalah guna beta menangkut,
Kebawah haribaan, yang beta junjung,
Menyayukan saja kalbu dan jantung.
Jikalau dapat beta lupakan, ayahanda,
Jikalau boleh beta buangkan, ayahanda,
Suara gemetar didalam dada,
Terdengar merawak Muda Perasa,
Hilanglah jantan kesyatrian kami,
Haram beta duduk bernegeri.
Si Bapa terpekurVoetlicht lindap, dibelakang kelam, cahaya kilat bergemerlapan bunyi ribut mendayu -dayu halilintar bersabungan
Permainan Alam berhenti.
Dalam gelap dibelakang kelihatan cahaya kecil, makin lama makin besar, seperti keluar dari celah gunung, sampai achtergrond terang betul.
Di sebelah muka tinggal terang-terang laras
SI BAPA
Dengarlah riwayat purbakala, waktu cuaca cakrawala.
Waktu belum datang bahala, menimpa negeri, menyerang kuala,
Semasa rakyat bercangkarama, semasa merdeka belum berkala,
Semasa riap kayu di rimba, semasa kerajaan berpagar sewa.
Negeri kokoh bersendi adat, mahkota dijunjung perkataan rakyat.
Harta negeri dipagar kuat, perbandaharaan dibuka memakai syarat.
Beban dipikul bersama berat, perintah berpucuk undang berurat.
Mashur kayanya laut dan darat, mashur ke Timur lalu ke Barat
Tanah dipegang Bangsawan Negeri, dijaga laskar kolam dan puri.
Anak Baginda seorang Putri, dijunjung Rakyat Muda bahari
Gadis nan jadi seorang istri, patut jadi bendera negeri.
Dewi bernama Bebasari, dicinta insan, jihin dan peri.
Khabar sampai seluruh alam, sampai ke tempat mantari silam.
Molek mahligai kolam dan laman, subur lembah jadi ucapan.
Menarik betara bangsa Nelayan, menjadi karun Sultan Sulaiman.
Jadi sasaran kaum Hindustan, melambai nakhoda di seberang lautan.
Terdengar berita oleh Rawana, cantik putri sebagai Diana.
Dikeralikan angkatan perang Pawna, dikibar panji laksamana.
Dicari kota di pihak Rina, ditempuh jeladri loka bincana.
Diturunkan sihir perompak istana, dilarikan Putri oleh Rawana.
Bujang terkejut, menggigit bibirnya, surut kebelakang beberapa tindak. Berkata dengan setengah heran bercampur marah.
BUJANG
Peri paparkan kepada beta, paras dan tingkah Raja kelana.
Apa maksud titan Rawana, melarikan Putri muda teruna.
Bebasari sedang dimana, masihkah hidup ataulah fana.
Siapa tunangan Dewi Kencana, tunjukkan beta o, ayahanda.
SI BAPA
Sedang Rawana turun menyerang, sedang rakyat hasik berperang.
Putri ditipu dibawa terbang, ke singgasana ke awang-awang.
Dihancurkan adat lembaga lawang, dijadikan Bangsawan budak dan inang.
Diterungku kota. dijaga Mambang. Bangsawan masgul berhati bimbang.
Menjadi sunyi darulmakmur, menjadi kurus tanah yang subur.
Kharab lembah mulyapun gugur, sato dan insan sama terpekur.
Patah lidahnya tangannya kujur, mencintai Putri tidak bertutur.
Angkasa terang menjadi limbur, makhluk meratap hati dikubur.
Rawana cerdik berhati batu, kepala tujuh mata seribu,
bertongkat busur panah semambu, meludahkan kata berasap mesiu.
muka dipupuri tidak bermalu, ditudungi perintah muka yang palsu.
Dibakar hutan dicuri kayu, hati lancung mulut bermadu.
Rupa Rawana tampan bangsawan, manis kata halus tipuan.
Merampas harta orang tawanan, lupa hak mustika insan.
Diikat rakyat seperti hewan, tanda ada sewa di tangan.
Dibujuk, ditipu dengan pakaian ..........
BUJANG
.............Diamkah. saja muda bangsawan?
SI BAPA
Diam Muda memangku tangan, diam memandang kampung halaman,
Sunyi gelanggang ditengah medan, berhiba angin, meratapi insan,
Patah lidahnya kehilangan angan, dibiarkan Rawana mendera perawan,
Pekik Put'ri tak diabaikan ............................................
BUJANG
Mungkinkah negeri tiada beijantan'?
SI BAPA
Anakku,
itulah gerangan makna mimpimu.
Sudahlah,
tiada gunanya tuan bersusah.
Anakku,
Itulah mainan orang beradu.
Dengarlah,
lupakan segala pikiran salah.
BUJANG
O, ayah,
biarkan tersasar, biar tersalah,
Maafkan,
jikalau terdorong beta katakan,
Dengarlah,
sesudah tersadar betapun lelah
Perawan,
Itulah yang menjadi pintu kuburan
O. Rabbi.
Tiada,kan mungkin kalau begini,
Kekasih,
wajahmu tiada dapat disisih
putri
ditungkus selaput karangan hati
O, Kasih
Dadaku merindu bercampur sedih
Ayahku
terangkan kepada beta piatu
Tcrbayang,
Selalu wajahnya, kalau kukenang,
Hatiku.
O, ayah, menampik makan, karena, rindu.
O, Mamang............................
(Menoleh kebelakang melihat seorang datang mendengar percakapan diatas)
apakah penyakit didalam tulang?
Mamanda,
Bebaskan, obatlah sakit di dada.
Ambillah,
segala pakaian mas yang indah.
Mamanda,
berilah kekasih beta yang muda
O, Allah,
nyawaku sebelah, biarlah tumpah
Mamanda Sabari datang perlahan, memegang tangan si Bujang menoleh kekiri dan ke kanan
MAMANDA SABARI
Ingatlah nyawa hanya sebuah,
Anakku.
kalau tertumpah susah gantinya.
SI BAPA
Lah tentu
Dengarlah kata ajar petuah,
Mamakmu
Dia menurut rasa hatinya ....................... (berpaling kepada Sabari).
Adikku,
SABARI
Hati pemuda yang gila-gila,
Rupanya.
Bisik impian suara setan,
Cintanya.
Itu didengar, itu didamba,
Percuma.
Sebab inilah tanda bencana,
Ananda.
Kamu disambar penyakit lalu,
Anakku.
Hilang akalmu diragu rewan,
Bujangku.
Tampak di mimpi menjadi rindu.
BUJANG
Mamakku,
Itu benarlah merusak badan,
dan kalbu.
SABARI
Merusak kampung mengusut kota,
Hendaknya?
Meninggal laman tapian mandi,
Ananda.
Meninggal bapa berduka cita,
Sudahnya.
Menuntut Dewi yang telah mati,
artinya.
Kurang perawan didalam luhak,
Bujanggi?
Makanya tuan hendak merewang
dan pergi?
Lihatlah bapa yang telah rusak,
kan mati.
Lemah badannya karena utang,
Ingati.
Lihatlah bagus lembah dan lawang,
Bastari.
Makmur tanahnya luas daratan,
Johari.
Jelad'ri ramai berpelang orang,
BUJANG
O, Sari,
BUJANG
O, Sari,
SABARI
Kemana dia kan kau turutkan,
Bujanggi?
BUJANG
Didalam gunung di seb'rang laut,
Mamanda.
Biarlah hancur badan yang hina.
(berpaling kepada si ayah )
Ayah'nda,
Izinkan beta menentang maut,
O, bapa,
Bekali beta dengan senjata,
Ayah'nda.
SI BAPA
Anakku, kencanaku, o, jantungku,
Payah tuan merindu Lela,
Sari tempatnya dalam. batu,
Susah jalan banyak ranjaunya.
Goa dijaga soldadu hitam,
Taman berpagar tumbak dan ruyung,
Harta ditunggu insan bersetan,
Sari dikungkung mengenal untung
Dilingkung Naga lidah berbelit,
Ditunggu jihin mulut berapi
Jalannya jauh lagipun sulit,
Raksasa banyak lautnya sakti.
Udara penuh berburung waja.
Tajam matanya, jauh panahnya
Inilah umanat dari ayah'nda,
Pegang nasehat oleh pemuda.
(Si bapa duduk mengalai)
BUJANG
O, ayah Zaman yang lari,
Tinggal beta seorang diri.
Besar dharma dikandung badan,
Kecil tenaga berat pikulan,
Apa beta yang ayah beri,
Penuntut Sari didalam puri,
Nasehat ayah melemah tenaga,
Merebut air melepas dahaga.
Umanat menjadi racun di hati.
SABARI
Patut dijunjung kata simati.
BUJANG
O, mamanda, O, mamakku,
Apakah guna beta berbaju
(ia mengoyak bajunya)
Kalau dada rasa terbakar,
Kalau darah berdebar-debar.
Angus kalbu memijak tanah
Pahit madu dirasa lidah
Kasang air dalam rangkungan,
Rindu terkurung dalam kandungan
Haram di beta harta hiasan
Haram di beta harta pinjaman
Haram bagiku tinggi jabatan,
Haram bagiku bintang berintan
Apa gunanya Taman dan kampung,
Apa gunanya lembah dan gunung
Apa gunanya hormat diberi
Apa gunanya duduk berperi,
Kalau Sari harta yang mul'ya.
Tiada dapat dilihat mata.
Dengar mamanda raja Sabari.
SABARI
Dalam sentosa sakit kaucari,
O, anak malang, anak celaka,
BUJANG
Beta mencari maksud mustika,
Melepaskan Lela dari terungku,
Penyampaikan sir hati yang rindu.
Sampailah gerangan hati mamanda
Melihat cabik jantung di dada.
SABARI
Membuang mukanya, berkata seperti orang kesal hati sama sendiri.........
Malu beta mendengar keluhnya,
Terpecik peluh, terpecak hina.
Inilah kata bangsawan jantan,
Ini sumarak mahkota intan,
Bertemu janji Nujum Dunia,
Lela tunangan Bujang belia.
Sayang Rawana berilmu sakti,
Sifatnya ganas berpantang mati.
Sayang nyawa muda belia,
Tertumpah terbuang tiada berjasa.
Dari: Bebasari oleh Roestam Effendi ( melalui buku PUISI BARU oleh Sutan Takdir Alisjahbana)
(SEPERTINYA MASIH ADA SAMBUNGANNYA )
Tentang Penulis:
Roestam Effendi lahir di Padang, 13 Mei 1903.
Belajar
pada Kweekschool Bukiltinggi, Hogere Kweekschool Bandung, mencapai Hoofdacte di negeri
Belanda, menjadi Guru Kepala sekolah Adabiah di Padang.
Menjadi anggota Tweede
Kamer Belanda sebagai wakil partai komunis Belanda (1936 - 1946), mengunjungi Soviet Rusia,
kembali ke Indonesia tahun 1947 sesudah keluar dari partai Komunis dan menggabungkan diri
dengan Tan Malaka.
Dalam kesusasteraan (dia adalah) salah seorang terkemuka sebelum Pujangga Baru. Dalam keberaniannya
membuat experimen tentang bahasa, malahan dapat dianggap salah scorang perintis jalan untuk
puisi sesudah perang dunia kedua. Tulisannya tidak mudah dibaca, karena penuh dengan kata-kata dialek dan experiment bahasa.
Karangan:
Percikan Permenungan
(kumpulan
sajak 1920), Bebasari (derama bersajak 1926), Quo Vadis? (karya politik),
Sebelum menulis Bebasari karangan-karangannya dimuat dalam majalah Asyray, (sebuah) majalah wanita, dengan nama samaran. Waktu di negeri Belanda menulis dalam De Telegraaf dan De Branding .( STA)
Note: The words in brown is already translated as appear on previous posting