Rabu, 09 Juli 2008

BEBASARI ( sebagian)



PELAKU:
Gadis
Bujang
Orang tua
Si Bapa
Mmanda Sabari




KEPENDEKAN KAN ISINYA
Maharaja Takutar telah ditaklukkan oleh Rawana, kerajaannya dirampas, karena Rawana mendengar kabar dari ahli nujum, bahwa Bujangga anak dari Maharaja Taku­lar nanti akan jadi jodohnya puteri Bebasari, anak dari Bangsawan Sabari,
Rawana, tiada hendak percaya pada peruntungan yang telah ditentukan lebih dahulu. terus memisahkan kedua kecintaan itu, serta mengurung Bebasari dalam terungku. dijaga dengan kokoh oleh jin dan peri,
Ketika Bujangga telah berumur, ia bermimpi melihat wajah Bebasari, terus jadi asyik berahi
Bujangga menanyakan arti mimpinya pada ayahnya,
Si Ayah menerangkan bahwa Bebasari tunangan Bujangga. Bujangga akan pergi mencari tunangannya, tetapi ditahan oleh ayahnya dan mamanda Sabari.
Dakarati dan Sahainaracu menyuruh tuntut Bebasari,Bujangga, karena keras cintanya, tiada mengindahkan perkataan Sabari melainkan pergi meninggalkan negerinya, menempuh tempat Rawana menerungku Bebasari, yang ditunjukankan oleh Sabainaracu.Bujangga mengalahkan laskar dan rakyat Rawana . mengusir Rawana dari kerajaan yang dirampasnya serta melepaskan Bebasari dari kurungan,
Bujangga kawin dengan Bebasari, seperti yang telah dijanjikan oleh peruntungan alam dari mulanya,

PEMBUKAAN PERTAMA
Toneel gelap, di-tengah.2 seorang gadis, berpakaian segala pu­tih, rambut terurai sedang berlutut, tangan terikat dengan rantai begat. setengah main disoroti dengan cahaya merah, datangnya dari atas
Dalam kelam ini terdengar suara melulung


PROLOOG
O, Gelap, O Jalahat
O, Rabbi, penyusun riwayat,
Bukakan pintu beta piatu,
kehilangan bapa, ketipuan ibu.
O, Alam yang kelam,
tempat bermain tipu-tipuan.
berilah beta cahaya sami
terangkan dakhil didalam hati.
Cahaya bata2 menerangi gadis, berkata per-lahan2, makin la­ma makin keras

GADIS
Akh, untungku putung.
Bilakan lepas dari dikurung.
O, kakanda,
Lama sudah dikandung dada,
Lihatlah rantai melilit badan,
sebal, suara saman,
Pandanglah beta,
berduka cita.
Dengarkan sedan, degup derita,
harapan besar pada kakanda.
Buyut berahi beta bernanti,
haus hati, hayat hajati.
O, aku, kutunggu tunggu
pembawa behari laskar soldadu.
O, harapan, beta perawan,
Pada Bujangga hati pahlawan.
Lepaskan beta,
O, kakanda.
Lepaskan, lepaskan, o, lepaskan,
Penuh duka derita badan.
Marilah mari,
kakanda diri.
Pagutlah peluk, asmara kami
­kibarkan Jaya, kekasih hati.
Cahaya berangsur hilang, toneel gelap seperti sediakala.
1)buyut =gemetar; 2) bahari = bahaduri = sateriaPEMBUKAAN KEDUA
Toneel tiada pakai voetlicht, pemandangan di tepi hutan, kampung sunyi, sebelah kebelakang pemandangan gunung gunung di terangi oleh cahaya hijau.. Sebelah dimuka agak kekanan orang tua duduk diatas bangku dari ranting dan dahan bertupang dagu. Dimukanya berlutut seorang bujang menutup matanya dengan telapak tangan, sedang terpekur.
Suling berbunyi sayu-sayu dibelakang layar, makin lama makin lambat . sampai hilang sama sekali..
Orang tua menggeleng lambat lambat, Bujang mengangkat kepalanya, berkata perlahan dan bersedih.


BUJANG
Bapaku, o, bapaku,
Alangkah sangatnya beta terganggu,
Gelap gelita, gegap gempita,
Alam angkasa di mata beta,
Sedang meraba ditengah kelam,
sedang diragu-ragu haluan,
Tersadar haus,
Rasakan putus,
Lelah letai, lesu dan lenyai,
Tersiur, terserai, terasa cerai,
Tubuh dan sukma,
O, ayahanda

ORANG TUA
Memegang, bahu kanan si Bujang, meng-usap usap kepalanya....
Lambat lembut, lega berlagu.


Anakku.
Ingat awan,
berimata tajam.
Ingat ranting,
berkuping nyaring.
Ingat batu pandai berkata,
banyak laskar titan dewata.
Akan belukar berular dakar.


BUJANG
Biarkan alam sama mendengar.
Penuh piala penanai kalbu
Berdebar darah dalam dadaku
Pahit pedis, panas perindu.
Patut kami papar tanyakan,
Kan jadi obat perarai demam.
Orang tua berdiri, si Bujang ikut berdiri. Si ayah memandang mata anaknya, menggeleng-geleng, heran terpekur.
Sabar dahulu dengarkan anak,


BUJANG
Dalam dadaku sudah menyanak.
Orang tua duduk kembali, menyapu kening dengan jari. Bujang berlutut sekali lagi, menekurkan kepalanya.
Orang tua berkata sendiri.

ORANG TUA
Inilah saat yang kutakuti,
inilah waktu yang beta nanti
Kalau menyingsing fajar di hati
Menyuluhi lembah limbur bahari.
Inilah mega mengandung Batin,
Membawa rahasia di ujung sikin.
Tandakan makmur kota dan insan,
Kalau pemuda tersadar badan,
Jika tersimbah gelombang dada,
pecah parit pengempang paja.
Keduanya bermenung. Cahaya dibelakang lindap lindap layu, cahayapun ber-tukar2, hijau, merah, kuning, dan kilatpun bermain dimuka toneel. Sehabis permainan cahaya ini, toneel dibelakang gelap, voetlicht dihidupkan terang-terang laras, tempat orang tua dan anak itu duduk lebih diterangkan.
Bujang bergerak memegang tangan kiri si Ayah dengan kedua belah tangannya dan berkata dengan lembut dan ter-henti henti.

BUJANG
Ayahku,
Tabirkan mimpi dalam beradu..........
Beta bermain ................ bergurau.......... berburu,
Entah tasik ................ entah tapian .............
Jalal 1 Jabal , jumantera 3 awan.......
Terbujur..................... terlintang,
Tertidur...................... terbentang.....
Rimbun riapnya tanam-tinaman
Rampak rampai rimba dan hutan......
Ombak bersorai berderai-derai,
Memecah ke pantai melambai-lambai
O, ayah,
Hijau padangnya sebagai katifah
Jingga warna padi di sawah.
Tanahnya perak,
sita sumarak.
Bergoa emas, berkolam minyak,
Batu hitam intannya banyak,
Terbang terkepai, burung dan murai,
berjoget, berlagu berbagai-bagai,
Bad bertiup berombak berbisik,
seperti serunai seruling musik.................
Ayahku,
Beta pun tajup memandang itu.....
bukan suatu bukan berdua,
beta melihat orang berkala,
Mereka bisul,
berhati masgul.
Setengahnya ada serupa beruk,
setengahnya yang lain hati pelanduk.
Setengah ada berlidah dua, setengah bermata berlaksa juta,
setengah meraba seperti sibuta, hilang rupanya pikir pelita.
Mereka berlari,
kian kemari,
Seperti sato khewan biadab,
Dihalau cambuk cemeti mualab.
Beta bertanya pada mereka,
Gempa jawabnya gegap gempita,
Ayahanda.
hiba hatiku,
hilang harapku,
sedih sungguh seperti sembilu. Hilang harganya hutan yang garu.
Loka yang limbur,
laut bersimbur,
menangis meratap,
meraung melulung,
mengemis menggegap,
menampung untung
Daun dan dahan,
tersedan-sedan,
Pawna mendayu mengatakan rindu.
Ayahku,
gementar dan lesu, lengan anggota,
terdengar tagar tangkas dewata.
Terdengar suara ditengah kelam
Nama pemuda jadi sesalan.
Beta terkejut, tidur tergegau
sampai sekarang menanggung risau
Kedua berhenti sebentar......
Si Bujang tinggal berlutut, seperti orang merindu.
Si Ayahnya memandang anaknya dengan hiba kasihan, lalu berdiri selaku penat, berjalan dua tiga langkah kemuka..

SI BAPA
O, Ilahi,
Tuhan Rabbani.
O, malang, celaka beta,
Inilah sumpah
Ini amarah,
Rasul dan Nabi, Tuhan Dewata.
Lama sudah,
Beta menyalah,
Segala tenung nujum yang pandai,
Jika datang,
Fajar menjalang,
Anak seorang bakal bercerai.
Lama beta
Meragu muda,
Supaya terpendam mana yang sukar.
Anak molek Biar bersolek,
Biar hati jangan tersadar.
O, mimpi
Cinta berahi.
Turun di hati muda belia,
Tanda sampai
Bujang semampai,
Merebut hak Dewi yang Mulya.
Si Bapa berdiri disisi Bujang.
(Toneel dipasang voetlicht). Dibelakang cahaya lindap, bertukar-tukar hijau dan kuning dan merah jambu.


SI BAPA
Dengarlah baik-baik beta berkata.


BUJANG

O, ayahku, terangi beta dengan pelita.
Supaya sempurna, sejahtera badanku,
Menempuh Hidup, menurutkan kalbu.


SI BAPA
Hai anakku Kesuma negeri,
Pemagar halaman, Mahkota Puri.
Samsu oleh Waktu yang Tiba,
Harapan bagi Tanah bicana,
Lupakan mimpimu, yang datang menyamar,
Lemparkan Khayal, yang sukar-sukar,
Itulah obat penglipur Jara,
Itulah jalan yang tiada bermara.
Si Bapa berdiam........
Bujang berdiri, Bapa menurut gerakannya dengan matanya.
Bujang bersurut setindak.


BUJANG
Ayahku, kalau itu yang ayah sebut,
Tiadalah guna beta menangkut,
Kebawah haribaan, yang beta junjung,
Menyayukan saja kalbu dan jantung.
Jikalau dapat beta lupakan, ayahanda,
Jikalau boleh beta buangkan, ayahanda,
Suara gemetar didalam dada,
Terdengar merawak Muda Perasa,
Hilanglah jantan kesyatrian kami,
Haram beta duduk bernegeri.
Si Bapa terpekur
Voetlicht lindap, dibelakang kelam, cahaya kilat bergemerlapan bunyi ribut mendayu -dayu halilintar bersabungan
Permainan Alam berhenti.
Dalam gelap dibelakang kelihatan cahaya kecil, makin lama makin besar, seperti keluar dari celah gunung, sampai achtergrond terang betul.
Di sebelah muka tinggal terang-terang laras



SI BAPA
Dengarlah riwayat purbakala, waktu cuaca cakrawala.
Waktu belum datang bahala, menimpa negeri, menyerang kuala,
Semasa rakyat bercangkarama, semasa merdeka belum berkala,
Semasa riap kayu di rimba, semasa kerajaan berpagar sewa.
Negeri kokoh bersendi adat, mahkota dijunjung perkataan rakyat
.
Harta negeri dipagar kuat, perbandaharaan dibuka memakai syarat.
Beban dipikul bersama berat, perintah berpucuk undang berurat.
Mashur kayanya laut dan darat, mashur ke Timur lalu ke Barat
Tanah dipegang Bangsawan Negeri, dijaga laskar kolam dan puri.
Anak Baginda seorang Putri, dijunjung Rakyat Muda bahari
Gadis nan jadi seorang istri, patut jadi bendera negeri.
Dewi bernama Bebasari, dicinta insan, jihin dan peri.
Khabar sampai seluruh alam, sampai ke tempat mantari silam.
Molek mahligai kolam dan laman, subur lembah jadi ucapan.
Menarik betara bangsa Nelayan, menjadi karun Sultan Sulaiman.
Jadi sasaran kaum Hindustan, melambai nakhoda di seberang lautan.
Terdengar berita oleh Rawana, cantik putri sebagai Diana.
Dikeralikan angkatan perang Pawna, dikibar panji laksamana.
Dicari kota di pihak Rina, ditempuh jeladri loka bincana.
Diturunkan sihir perompak istana, dilarikan Putri oleh Rawana.


Bujang terkejut, menggigit bibirnya, surut kebelakang beberapa tindak. Berkata dengan setengah heran bercampur marah.
BUJANG
Peri paparkan kepada beta, paras dan tingkah Raja kelana.
Apa maksud titan Rawana, melarikan Putri muda teruna.
Bebasari sedang dimana, masihkah hidup ataulah fana.
Siapa tunangan Dewi Kencana, tunjukkan beta o, ayahanda.


SI BAPA
Sedang Rawana turun menyerang, sedang rakyat hasik berperang.
Putri ditipu dibawa terbang, ke singgasana ke awang-awang.
Dihancurkan adat lembaga lawang, dijadikan Bangsawan budak dan inang.
Diterungku kota. dijaga Mambang. Bangsawan masgul berhati bimbang.
Menjadi sunyi darulmakmur, menjadi kurus tanah yang subur.
Kharab lembah mulyapun gugur, sato dan insan sama terpekur.
Patah lidahnya tangannya kujur, mencintai Putri tidak bertutur.
Angkasa terang menjadi limbur, makhluk meratap hati dikubur.
Rawana cerdik berhati batu, kepala tujuh mata seribu,
bertongkat busur panah semambu, meludahkan kata berasap mesiu.
muka dipupuri tidak bermalu, ditudungi perintah muka yang palsu.
Dibakar hutan dicuri kayu, hati lancung mulut bermadu.
Rupa Rawana tampan bangsawan, manis kata halus tipuan.
Merampas harta orang tawanan, lupa hak mustika insan.
Diikat rakyat seperti hewan, tanda ada sewa di tangan.
Dibujuk, ditipu dengan pakaian ..........


BUJANG

.............Diamkah. saja muda bangsawan?

SI BAPA

Diam Muda memangku tangan, diam memandang kampung halaman,
Sunyi gelanggang ditengah medan, berhiba angin, meratapi insan,
Patah lidahnya kehilangan angan, dibiarkan Rawana mendera perawan,
Pekik Put'ri tak diabaikan ............................................


BUJANG
Mungkinkah negeri tiada beijantan'?


SI BAPA

Anakku,
itulah gerangan makna mimpimu.
Sudahlah,
tiada gunanya tuan bersusah.
Anakku,
Itulah mainan orang beradu.
Dengarlah,
lupakan segala pikiran salah.


BUJANG
O, ayah,
biarkan tersasar, biar tersalah,
Maafkan,
jikalau terdorong beta katakan,
Dengarlah,
sesudah tersadar betapun lelah
Perawan,
Itulah yang menjadi pintu kuburan

O. Rabbi.
Tiada,kan mungkin kalau begini,
Kekasih,
wajahmu tiada dapat disisih
putri
ditungkus selaput karangan hati
O, Kasih
Dadaku merindu bercampur sedih
Ayahku
terangkan kepada beta piatu
Tcrbayang,
Selalu wajahnya, kalau kukenang,
Hatiku.
O, ayah, menampik makan, karena, rindu.
O, Mamang............................


(Menoleh kebelakang melihat seorang datang mendengar percakapan diatas)
apakah penyakit didalam tulang?
Mamanda,
Bebaskan, obatlah sakit di dada.
Ambillah,
segala pakaian mas yang indah.
Mamanda,
berilah kekasih beta yang muda
O, Allah,
nyawaku sebelah, biarlah tumpah


Mamanda Sabari datang perlahan, memegang tangan si Bujang menoleh kekiri dan ke kanan

MAMANDA SABARI

Ingatlah nyawa hanya sebuah,
Anakku.
kalau tertumpah susah gantinya.

SI BAPA
Lah tentu
Dengarlah kata ajar petuah,
Mamakmu
Dia menurut rasa hatinya ....................... (berpaling kepada Sabari).
Adikku,


SABARI
Hati pemuda yang gila-gila,
Rupanya.
Bisik impian suara setan,
Cintanya.
Itu didengar, itu didamba,
Percuma.
Sebab inilah tanda bencana,
Ananda.
Kamu disambar penyakit lalu,
Anakku.
Hilang akalmu diragu rewan,
Bujangku.
Tampak di mimpi menjadi rindu.


BUJANG
Mamakku,
Itu benarlah merusak badan,
dan kalbu.


SABARI
Merusak kampung mengusut kota,
Hendaknya?
Meninggal laman tapian mandi,
Ananda.
Meninggal bapa berduka cita,
Sudahnya.
Menuntut Dewi yang telah mati,
artinya.
Kurang perawan didalam luhak,
Bujanggi?
Makanya tuan hendak merewang
dan pergi?
Lihatlah bapa yang telah rusak,
kan mati.
Lemah badannya karena utang,
Ingati.
Lihatlah bagus lembah dan lawang,
Bastari.
Makmur tanahnya luas daratan,
Johari.
Jelad'ri ramai berpelang orang,


BUJANG
O, Sari,

BUJANG
O, Sari,

SABARI
Kemana dia kan kau turutkan,
Bujanggi?


BUJANG
Didalam gunung di seb'rang laut,
Mamanda.
Biarlah hancur badan yang hina.
(berpaling kepada si ayah )
Ayah'nda,
Izinkan beta menentang maut,
O, bapa,
Bekali beta dengan senjata,
Ayah'nda.


SI BAPA
Anakku, kencanaku, o, jantungku,
Payah tuan merindu Lela,
Sari tempatnya dalam. batu,
Susah jalan banyak ranjaunya.
Goa dijaga soldadu hitam,
Taman berpagar tumbak dan ruyung,
Harta ditunggu insan bersetan,
Sari dikungkung mengenal untung
Dilingkung Naga lidah berbelit,
Ditunggu jihin mulut berapi
Jalannya jauh lagipun sulit,
Raksasa banyak lautnya sakti.
Udara penuh berburung waja.
Tajam matanya, jauh panahnya
Inilah umanat dari ayah'nda,
Pegang nasehat oleh pemuda.

(Si bapa duduk mengalai)
BUJANG
O, ayah Zaman yang lari,
Tinggal beta seorang diri.
Besar dharma dikandung badan,
Kecil tenaga berat pikulan,
Apa beta yang ayah beri,
Penuntut Sari didalam puri,
Nasehat ayah melemah tenaga,
Merebut air melepas dahaga.
Umanat menjadi racun di hati.


SABARI
Patut dijunjung kata simati.


BUJANG

O, mamanda, O, mamakku,
Apakah guna beta berbaju
(ia mengoyak bajunya)
Kalau dada rasa terbakar,
Kalau darah berdebar-debar.
Angus kalbu memijak tanah
Pahit madu dirasa lidah
Kasang air dalam rangkungan,
Rindu terkurung dalam kandungan
Haram di beta harta hiasan
Haram di beta harta pinjaman
Haram bagiku tinggi jabatan,
Haram bagiku bintang berintan
Apa gunanya Taman dan kampung,
Apa gunanya lembah dan gunung
Apa gunanya hormat diberi
Apa gunanya duduk berperi,
Kalau Sari harta yang mul'ya.
Tiada dapat dilihat mata.
Dengar mamanda raja Sabari.


SABARI

Dalam sentosa sakit kaucari,
O, anak malang, anak celaka,


BUJANG
Beta mencari maksud mustika,
Melepaskan Lela dari terungku,
Penyampaikan sir hati yang rindu.
Sampailah gerangan hati mamanda
Melihat cabik jantung di dada.

SABARI
Membuang mukanya, berkata seperti orang kesal hati sama sendiri.........
Malu beta mendengar keluhnya,
Terpecik peluh, terpecak hina.
Inilah kata bangsawan jantan,
Ini sumarak mahkota intan,
Bertemu janji Nujum Dunia,
Lela tunangan Bujang belia.
Sayang Rawana berilmu sakti,
Sifatnya ganas berpantang mati.
Sayang nyawa muda belia,
Tertumpah terbuang tiada berjasa.

Dari: Bebasari oleh Roestam Effendi ( melalui buku PUISI BARU oleh Sutan Takdir Alisjahbana)
(SEPERTINYA MASIH ADA SAMBUNGANNYA )


Tentang Penulis:






Roestam Effendi lahir di Padang, 13 Mei 1903.


Belajar pada Kweekschool Bukiltinggi, Hogere Kweekschool Bandung, mencapai Hoofdacte di negeri Belanda, menjadi Guru Kepala sekolah Adabiah di Padang.
Menjadi anggota Tweede Kamer Belanda sebagai wakil partai komunis Belanda (1936 - 1946), mengunjungi Soviet Rusia, kembali ke Indonesia tahun 1947 sesudah keluar dari partai Komunis dan menggabungkan diri dengan Tan Malaka.
Dalam kesusasteraan (dia adalah) salah seorang terkemuka sebelum Pujangga Baru. Dalam keberaniannya membuat experimen tentang bahasa, malahan dapat dianggap salah scorang perintis jalan untuk puisi sesudah perang dunia kedua. Tulisannya tidak mudah dibaca, karena penuh dengan kata-kata dialek dan experiment bahasa.
Karangan: Percikan Permenungan (kumpulan sajak 1920), Bebasari (derama ber­sajak 1926), Quo Vadis? (karya politik), Sebelum menulis Bebasari karangan-karangannya dimuat dalam majalah Asyray, (sebuah) majalah wanita, dengan nama samaran. Waktu di negeri Belanda menulis dalam De Telegraaf dan De Branding .( STA)







Note: The words in brown is already translated as appear on previous posting

Selasa, 08 Juli 2008

BEBASARI ( Englished)





CASTS:


Gadis ( the Maid/ Bebasari)
Bujang ( the Boy)
Orang tua ( Old man)
Si Bapa (  Father)
Mamanda Sabari



THE STORY OF THE PLAY
The Great King Takutar have been defeated by Rawana. His Kingdom was taken, because Rawana was informed by an astrologer that Bujanga son of Takutar will be married to princess Bebasari the daughter of a nobleman named Sabari.
Rawana having no faith of any predestined fate, kept seperate those two lovers, and confined Bebasari in a jail tightly guard by jinns and fairies.
When Bujanga reached age, he dreamed of seeing Bebasari face and become passionated.
Bujanga asked his father the meaning of the dream.

The father explained that Bebasari was enggaged to Bujanga.
Bujanga would like to go to seek his fiancee but withheld by his father and uncle Sabari.
Dakarati and Sabainaracu was sent to demand Bebasari.
Bujanga strong in his love, didn't heed what Sabari have said and left his country instead, go to where Rawana imprisoned Bebasari which Saibanaracu pointed out.

Bujanga defeated the hosts and the people of Rawana and expelled Rawana from the Kingdom he taken from his father, and release Bebasari from her imprisonment.
Bujanga married Bebasari as natural luck has promised.

ACT ONE
Stage endarkened. In the center a maid, all in white, hair down, kneeling down, hand cuffed with heavy chain.
Halfplay flooded by red down light .
In this dimness, a whining sound was heard:

PROLOGUE

O, Dark, O, ignorancer
O Lord, the story arranger.
Open the door me orphaned
Lost father, mother ripped off
O, dimmed universe
Place of cheatery play
Give me holy light
Brighten up barnacle within heart


Flickering light reveal the maid, spoke slowly. Getting louder
THE MAID
Ah, my luck cut stuck
When will be off confined
O, my big brother
It's been a long time bear in the chest
Look, chain twained about body
Spiteful, swished, sound of writ
Take a good look at me
Mourned
Listen to sob, suffering flop
Great expectation is on love brother
Shiver, infatuated me awaiting
Heart thirst, desire of life
O, me , I 'm waiting
Knight bringer, troops of soldiers
O, hope , me virgin
To Bujangga , hero's heart
Set me free
O, brother of mine
Release, Release o, Release
Full of mourn, carnal suffering
Come, come
Brother of myself
Kiss embrace, our passion
Wave the glory, love of my heart

Gradually light off, stage dark again as before

ACT TWO
Stage aren't floodlighted now. A view in skirt of a jungle , lonely village, backdrop is mountain panorama, green lighted. Front right hand side stage is an old man sitting on a bench made of twigs and branch head in hand. In front of him is a boy on his knee, closing his eyes with his palm contemplating.
A flute fluting with dullness backstage. Getting slower and eventually unheard.
The old man shake his head slowly. The boy raise his head saying slow and sad

THE BOY
Father, o my father
How hard is I've been disturbed
Utterly dark, boisterous
Sky world in my perception
Is having groping in dim
Being hesitate in its course
Aware, athirst
Feeling cut off
Fatigue, exhausted and limped
Buzzed, scattered, feel parted
Body and mind
O, father of mine


PARENT
Hand in boy's right shoulder. Wipe off his head
Soft slow, in relief intonated
My son
Remember cloud
have keen eyes
Remember twig
have sonorous ears
Remember stone apt in talk
There's so many god's titans
Bushes roots, reckless snaked

THE BOY
Let nature hear alike
Full of heart carrier chalice
blood throbbing in my breast
bitter smart, craver hot
It is right for us to ask explained
Would be a febrifuge.


The parent raise followed by the boy. The father looking into the eyes of his son, shaking his head , astonished, worried.

Calm down, listen son


THE BOY
My deep breast already adopting


The parent take a sit again, wiping forehead with finger. The boy kneeling again bow down his head.
The parent speak by himself


THE PARENT
This is the moment I fear
This is the time that I wait
When dawn break in the heart
Torching valley ancient dusk
This is cloud, soul impregnated
Bringing secret in dagger tip
A token of prosperity of city and men
If youth bodily aware
If to bathe in breast wave
trench break slave panter


Both absorbed. The light behind is fading away, then there are alternating glow in green, red, and yellow, and the flash also playing in front of the stage. After this light play, hind side stage go dark.
Floodlight is on in pitch bright. The spot where the parent and son sit is highlighted.
The boy move , holding father's left hand with both hands and say softly and uncontinuously
.


My father,
Please Interpret dream in sleep...........
I was playing............jesting........hunting
Maybe lake ..........maybe riverbank
Enormous.....mountain .........sky....... cloud
laid longitude........laid transverse.....
aslept........spread out...........
leafy thrive of foliage............
lavishly grew, jungle and forest........
Wave cheered, mass disorderly
Splahed scattered to the shore waving up
O, father
Field was green as if rug
Orange was rice grain in rice field
The earth soil was silver
Clean white splendour
Gold caved, oil ponded
Obsidian, the diamond was lavished
Flew fluttered, birds and magpies
Danced, sang all sorts
Wind blew waved whispered
Like clarinet music flute ..........
My father
I too astonished seeing that..............
Not some not in two
I saw periodical people
They were carbuncle
Heart grumped
Half was like ape
Other half have mouse deer heart
Half are two tongued
Half have a ten thousand million eyes
Half gropes like the blind
Apparently gone is the think lamp
They run
Thru and thro
Like wild animal insolent beast
Lashed away whip cast
I asked to them
Quake is the answer, boisterous
My Father
My heart was moved
Lost was my hope
Very sad like sembilu*
Worthless was forest of aloe- wood
of Overflowed world
Splashed sea
Crying wailing
Roaring howling
Begging hesitating
To catch with fate
Leaf and branch,
Sobbing
The wind moaning, spell craving

My father
Trembling tired, arm limb
Thunder’s heard , God’s dexterous
Sound was heard in the middle of the dark
Youth name became a repentance
I was surprised , sleep startled
Till now enduring anxiousness

Both sojourned……..
The boy keep kneeling, like one longing
The father beholding his son moved, compassionately, then
raised fatigued, walked two three steps ahead

THE FATHER
O , Allah
Lord God
O, ill luck, unfortunate me
This is oath
This is wrath
Messenger and prophet, Lord God
It’s been a long time
I blamed
All of those proficient fortune tellers , astrologers
If come
Dawn welcoming
One’s son would be parted
Endure me
Doubting young
As to bury which is hard
Sweet baby , be dressed up
So the heart won’t aware
O, dream
Infatuated love
Pouring down into young heart
Arrival sign
Slender boy
To fight for the right of the noble goddess

The father raised beside the boy
(The stage is floodlighted) hind side is fading light.
green and yellow and pink alternately

THE FATHER,
Listen carefully , I say
THE BOY
O, my father , enlighten me with lamplight
In order be perfect , prosperous my body
To go through life, following heart
THE FATHER
O, my son flower of the land
Yard hedger , crown of the castle
Intoxicated by Arriving Time
Hope for fatherland
Forget your dream coming in disguise
Throw away your daydreams , the difficult
That is a consolation remedy
That is a path imperiled

The Father unspoked
The Boy raised, father following his move with his eyes
Son retreat a step

BOY
My father if it is that father mentioned
There is no use for me to laying down
Into the lap I revered.
Just to move mind and heart
If I only could throw away, father of mine
Trembling voice inside breast
Heard at random, sensitive young
Gone are our knighthood
It’s forbidden for me to sit patriotic
The father meditated…….
The floodlight fading away, behind is dark, thunder light flickering . Noisy sound thundering . Lightning enraged.
Nature Play stopped.
In darkness behind seen a little light. Getting bigger , like coming out of a mountain chink until the foreground really bright.
Front side stay dim

Listen to ancients tale, horizon weathered time
When calamity was not yet come, inflicting the land, discharge river mouth
When people chat, when freedom untimed
When flourished timber are in the jungle, when kingdom fenced with dagger
Firm country pivoting in custom, crown are upheld by people saying
.......
* sembilu are very sharp edged chip made of bamboo skin, well known for often hurting uncautios hand.

( to be continued)

Note:
(for the time being, translation is limited to the words in brown in the original version in the next posting)




Roestam Effendi 1926
translation; saptono




Roestam Effendi was born in Padang, May 13, 1903.

Studied in  Kweekschool ( Teacher School) in Bukiltinggi in West Sumatra and then Hogere Kweekschool (Higher Teacher Training College) in Bandung,West Java.Got his Hoofdacte ( High Deed) in the Netherlands, and become a principal  in Adabiah school in Padang.
Between 1936 – 1946 he sat as a member of the Dutch parliament as a representative of he Communist Party of the Netherlands . Roestam Effendi  visited Soviet Union  and, returned to Indonesia in 1947 after quit the Communist Party and joined Tan Malaka, a prominent politician of Pre Indonesia era.
In the literature (he is) one of the leading writer  before an era known as “Pujangga Baru” (the New Poet).

He had the courage to experiment on language, even could be called as a pathfinder  to poetry after the second world war. 
His writing is not easy to read, because itis full of words ,dialect and language experiment.

Works: Percikan Permenungan (The spark reflection ,anthology 1920), Bebasari (rhyming drama 1926), Quo Vadis? (a political pamphlet).

Before writing Bebasari,  his  essays were published under a pseudonym in the Asyray , a women's magazine, . . During his Neteherlands stay he was a contributor to  De Telegraaf ( Daily) and De Branding. 

Jumat, 04 Juli 2008

INDONESIA DRAMA

Blog ini khusus untuk memperkenalkan drama milik bangsa Indonesia keseluruh dunia. Bila ada yang berminat untuk menyumbang silahkan pilih drama, libretto wayang orang, wayang kulit, wayang golek, dan segala seni panggung dari daerah manapun dari seluruh Indonesa, dari zaman paling kuno sampai zaman sekarang untuk di posting disini, tentu saja yang sudah diterjemahkan ke bahasa yang banyak dikenal didunia.

Selain memperkenalkan juga sekalian melestarikan.
Disusahakan tampil juga dalam bahasa aslinya maupun bahasa Indonesia.



THIS BLOG IS DEDICATED TO INTRODUCED INDONESIAN DRAMA TRADITIONAL OR MODERN THAT HAVE EVER BEEN WRITTEN OR STAGED.
IT ALSO HAVE A PURPOSE TO PRESERVE THEM SINCE MOST OF THEM COMMUNICATED ORALLY ONLY

wass;
Saptono