Sabtu, 04 Februari 2012

SANG KURIANG

PENGANTAR
(oleh pengarang)

Cerita disekitar Sang Kuriang (baca: Sang Guriang; Guriang mahluk turunan Dewa) yang menaruh cinta-berahi pada ibu kandung, adalah sebuah cerita pusaka Sunda yang turun-temurun dari mulut-kemulut dan baru pada tahun belasan lahir dalam bentuk bacaan, dimulai oleh usaha C.M. Pleyte dalam bukunya “Pariboga".

Dalam kesusasteraan Sunda, tema disekitar anak yang menaruh cinta-berahi pada ibu kandung itu bukan barang baru. Juga dalam cerita Lutung Kasarung disebutkan bahwa Guru Minda yang di­turunkan dari kahyangan ke marcapada dalam bentuk Lutung itu adalah karena ia dikahyangan menaruh cinta-berahi pada ibunya.  

Kapan cerita disekitar Sang Kuriang ini lahir, sampai sekarang tidak dapat diketahui dengan pasti. Tapi bahwa cerita ini sudah sangat tua-mungkin lebih tua dari cerita Lutung Kasarung —dapat dibuktikan dalam perkembangannya yang meliputi seluruh daerah Jawa-Barat dengan ragamnya yang berlain-lain.

Pada umumnya cerita yang banyak ragamnya itu dimulai dengan seorang anak raja yang tidak beristeri (karena membenci wanita) dan mempunyai kegemaran berburu. Pada suatu waktu, ketika ia berburu. dirimba (-larangan) ia membuang air kecil. Seekor babi betina (yang sebenarnya seorang Dewi kena kutuk) meminum air kecil itu, lalu mengandung dan. melahirkan anak perempuan. Anak perempuan ini dijumpai anak raja tadi, terus dipungutnya sebagai anak dan diberi nama Dayang Sumbi.

Setelah dewasa, Dayang Sumbi yang mempunyai kegemaran menenun, pada suatu waktu, ketika ia asyik menenun, tiba-tiba diserang kantuk setelah taropong yang dipegangnya jatuh kekolong. Saking lesunya ia tidak kuasa mengambil taropong, lalu berkata: “barang­siapa suka menolong mengambilkan taropong dari kolong, dia akan dijadikan kawan sekiranya perempuan, dan akan dijadikan suami sekiranya laki-laki”

Kedengaran perkataannya oleh Si Tumang, anjing jantan piaraan raja (yang sebenarnya seorang Dewa kena kutuk). Anjing itupun mengambil taropong dan terus menyerahkannya kepada Da­yang Sumbi.

Mau tak mau Dayang Sumbi menyerah kepada takdir, menyerahkan diri kepada Si Tumang, sehingga akhirnya ia mengan­dung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Sang Setelah dewasa, pada suatu waktu Sang Kuriang menyuruh Si Tumang mengejar seekor babi betina yang sedang diburunya. Tapi Si Tumang tidak menurut, hal mana membangkitkan amarah pada Sang Kuriang dan menyebabkan anjing itu dibunuhnya.

Kemudian ia membawa hati anjing itu pulang dan menyerahkannya kepada Dayang Sumbi untuk dimasak.

Mengetahui bahwa hati yang dimakannya itu sebenarnya hati Si Tumang, Dayang Sumbi marah, lalu memukul kepala Sang Kuriang dengan sinduk dan terus mengusirnya. Tapi setelah mengusir anak, ia merasa kesepian; ia berangkat meninggalkan tempat ke­diamannya,bertempat tinggal ditengah hutan.

Sang Kuriang yang diusir, berangkat menuju arah matahari terbit, tapi ditengah jalan ia linglung dan kembali lagi kearah Barat. Kalau akhir-akhirnya ia bersua dengan seorang perempuan cantik bertempat tinggal ditengah hutan, iapun tidak tahu bahwa perempuan itu sebenarnya ibunya. Kepada perempuan itu ia meng­abdikan diri dan memajukan pinangan.

Tapi Dayang Sumbi yang dapat mengetahui bahwa diatas kepala jejaka yang meminangnya itu ada cacat bekas dipukul, dapat mengetahuinya pula bahwa sebenarnya ia mesti menerima pinangan seorang anak kandung.

Untuk menghindarkan perkawinan, ia terima pinangan itu dengan syarat: Sang Kuriang mesti menyediakan telaga dan perahu (buat berlayaran) dalam waktu satu malam. Kesiangan akan berarti bahwa perkawinan tidak jadi.

Permintaan ini disanggupi Sang Kuriang, dan semalam-malaman (dengan dibantu para siluman) ia bekerja menyiapkan telaga dan perahu.

Tahu bahwa permintaannya akan dapat dipenuhi, dimalam buta Dayang Sumbi mengibar-ngibarkan boeh larang (kain putih) dan mengatakan kepada Sang Kuriang bahwa kibaran boeh larang itu adalah cahaja fajar menyingsing.

Saking marahnya Sang Kuriang menyepak perahu sampai ter­telungkup, lalu mengejar Dayang Sumbi yang lari karena tetap menolak kawin dengan anak.



Sampai disini jalan cerita dari berbagai ragam cerita disekitar Sang Kuriang itu hampir sama. Perbedaan yang didapat diberbagai daerah, kecuali mengenai tempat kejadian dan nama serta kedu­dukan tokoh yang diceritakan, kebanyakannya didasarkan kepada kepercayaan penduduk didaerah itu terhadap keadaan alam dise­kitar.
Bagi penduduk Priangan misalnya, telaga yang dibikin Sang Kuriag itu ialah Telaga Bandung yang sekarang sudah kering kembali, dan perahu yang disepaknya telah menjelma dalam bentuk Gunung Tangkuban Parahu.
Sedang menurut cerita dari daerah Banten, bekas telaga yang dibikin Sang Kuriang itu terletak didaerah Banten yang sekarang disebut Cibitung.
Tokoh anak raja yang membuang air kecil dirimba, didaerah Priangan ada kalanya disebut anak raja Parahyangan, ada kalanya disebut anak raja Pajajaran dan ada kalanya pula disebut anak raja Galuh. Sedang menurut cerita dari daerah Banten, tokoh anak raja ini diganti dengan seorang Syekh (ulama penyebar agama Islam) yang membuang air kecil pada saat hendak memasuki mesjid. Nama Dayang Sumbi digantinya pula dengan Artati.
Yang sangat berlain-lain  adalah akhir cerita.
Disamping kebanyakan cerita yang berakhir dengan kemasing­masingan: atau Sang Kuriang tilem (menghilang kebumi) setelah Dayang Sumbi ngahiang (menghilang kekahyangan), atau Sang Kuriang menyatukan diri kepada siluman setelah Dayang Sumbi menghilang, ada juga cerita yang menyebutkan bahwa pada akhirnya Sang Kuriang dapat menyergap Dayang Sumbi, bahkan ada yang menceritakan bahwa mereka berdua terus bersatu dalam perkawinan dan melahirkan turunan.

Akhir cerita yang berlainan kita lihat pula dalam karangan Darmawijaya dan R.T.A. Sunarya yang masing-masing dimuat dalam “Gema Tanah Air" dan diterbitkan sebagai buku dengan penerbit Timun Mas.
Darmawijaja mengakhiri cerita dengan tenggelamnya Dayang Sumbi di Laut Kidul setelah ia mengutuki Sang Kuriang supaya tenggelam kedasar telaga, sedang R.T.A. Sunarja mengakhiri cerita dengan putusan Dewa yang menenggelamkan Sang Kuriang kedasar telaga dengan maksud menyelamatkan Dayang Sumbi dari paksaan anak.

Dalam perkembangannya diwaktu belakangan, Dr.C.Worm­ser (?) dalam sandiwaranya yang dipertunjukkan dinegeri Belanda pernah mengemukakan interpretasinya yang berani mengenai kebe­rangkatan Sang Kuriang kearah matahari terbit dengan melukiskan SangKuriang sebagai pengeliling dunia,karenanya ia kembali ke­tempat asal.

Dan R.T.A. Sunarja—dengan maksud memperbarui—keluar pula dengan interpretasinya, dimana ia mengganti tokoh babi betina dengan seorang perempuan desa yang dikawin raja secara tidak resmi dan mengganti tokoh Si Tumang dengan seorang Mantri ­Istana kekasih raja yang kurangajar.
Kalau cerita Sang Kuriang yang saya suguhkan berlainan pula dari cerita-cerita yang sudah lebih dulu disuguhkan, maksudnya tidak lain karena hendak melanjutkan perkembangan cerita pusaka ini dalam bentuk dan, isi yang saya temui sendiri.
Utuy T. Sontani.



SANG KURIANG
Libretto 2 babak.
Oleh Utuy Tatang Sontani

Para pelaku:

Sang Kuriang
Dayang Sumbi
Bujang
Si Tumang
Raja Siluman dan Pengikutnya
Ardasim dan kawan- kawannya.


1. SIANG HARI

Dihalaman rumah. Dayang Sumbi dan Bujang asyik menenun. Tiba-tiba Dayang Sumbi berhenti menenun. Dan setelah berhenti, menenun terus terdiam bermenung.

BUJANG :
Cuaca terang benderang, mentari bersinar riang.
Tapi Nyai nampak muram. Apa gerang yang terpendam ?

DAYANG SUMBI :
Hatiku merasa melang ,
memikirkan Sang Kuriang
sudah lama tidak datang,
sudah lama tidak pulang.

Aku takut dia pundung,
maklum dia sedang bingung,
hidup selalu bertanya,
'nanyakan siapa bapak.

BUJANG :
Memang kasihan memikirkannya;
dia sering duduk sendirian,
tak mengacuhkan orang bertanya,
saking tenggelam dalam, pikiran.

DAYANG SUMBI :
Aku juga yang berdosa,
selalu berahasia;
setiap dia bertanya selalu
dijawab hampa.

Tapi mulai sekarang
biar aku terus terang.
Meskipun terasa berat,
namun apa boleh buat.

ARDASIM DKK. (dari jauh)
Beriring-iring — ring,
ringan ngajun kaki — ki,
kirapkan derita — ta.

ARDASIM :
Tarirang turang turaring.

BERSAMA (muncul)
Bersama-sama — ma,
main sambil kerja — ja,
jauhkan sengketa — ta.

ARDASIM :
Tarirang turang turaring.

DAYANG SUMBI : Mang Ardasim!

ARDASIM :
Ya, Nyai.

DAYANG SUMBI :
Mamang selalu gembira,
meski mamang sudah tua.
Kuingin anakku Sang Kuriang
gembira seperti mamang.

ARDASIM :
Mamang selalu gembira,
sebab mamang tidak menyimpan rahasia.
Mamang selalu gembira,
sebab didunia memang tidak ada rahasia.

Anak Nyai Sang Kuriang,
bagaimana akan gembira seperti mamang ?
Sebab bagi Sang Kuriang
ada rahasia yang membikin tidak damang

DAYANG SUMBI :
Rahasia apa, mamang ? Katakanlah terusterang

ARDASIM :
Ah, ah, sudah gaharu. cendana pula, sudah tahu Nyai bertanya pula.

BERSAMA :
Rahasia yang menyiksa Sang Kuriang
bagi kita semuanya sudah terang.

ARDASIM :
Pernah sekali Sang Kuriang
bertanya kepada mamang :
„Siapa bapak ?
Dimana dia ?"
Mamang jawab : bagaimana mamang tahu ?
Mamang hanya tahu dengan pasti,
bahwa Sang Kuriang bersama Dang Ibu
dulu datang kesini mengungsi.

Bukankah hanya itu
yang mamang tahu ?

DAYANG SUMBI:
Betul, mamang,
rahasia yang menyiksa Sang Kuriang
hanya dapat dibukakan oleh ibunya seorang.

ARDASIM :
Dan mamang tidak salah, bukan?

DAYANG SUMBI:
Mamang tidak ada kesalahan.

ARDASIM :
Tapi, Nyai,
semenjak itu Sang Kuriang terus memusuhi mamang.

DAYANG SUMBI :
Memusuhi ?

BERSAMA :
Betul, Nyai,
dia memusuhi kami.

ARDASIM :
Pernah sekali mamang
menegur Sang Kuriang
dengan maksud baik.
Tapi dia menghardik :
„Jangan kau dekat padaku !
Jauhlah kau dari aku!"
Semenjak itu mamang tidak berani
menegur atau mendekati lagi.

DAYANG SUMBI :
Wahai, aku tidak menyangka
anakku sudah sampai kesana.

Tapi, mamang, kalau nanti
mamang berjumpa dengan Sang Kuriang,
sudikah mamang katakan bahwa dia ditunggu pulang ?

ARDASIM:
Baik, Nyai, kalau nanti
mamang berjumpa dengan. Sang Kuriang,
akan mamang katakan bahwa dia ditunggu pulang.

Mari, kawan !
Kita, berjalan.

BERSAMA  (sambil terus turun)
Beriring-jiring — ring,
ringan ngajun kaki —
ki, kirapkan derita — ta.

ARDASIM :
Tarirang turang turaring.

BERSAMA :
Bersama-sama — ma.,
main sambil kerja ja,
jauhkan sengketa ta.

ARDASIM :
Tarirang turang turaring.

Tinggal Dayang Sumbi dan Bujang.

DAYANG SUMBI :
Kian bertambah jelas sekarang,
bahwa aku mesti terusterang.

BERDUA:
Meskipun terasa berat,
namun apa boleh buat.

SANG KURIANG (dari jauh):
Dengar !
Dengar suara hati
diliputi malam sepi.

Bintang dilangit bukan cerlangku,
bunga mengembang bukan seriku;
daun laju melajang laju,
itulah aku.

Dengar !
Dengar suara hati
sunyi sepi rindu isi.

BUJANG :
Tu dia, Sang Kuriang datang !

BERDUA :
Datang tidak dengan riang.

DAYANG SUMBI:
Segeralah bibi menghilang.
Biar disini aku seorang.

Bujang turun.
Sang Kuriang muncul diiringkan Si Tumang.

DAYANG SUMBI :
Dari mana, anakku sayang ?
Berhari-hari tuan berkelana
meninggalkan rumah dan ibunda;
baru sekarang kembali pulang.

SANG KURIANG :
Hamba masuk rimba keluar rimba;
terkenang bunda cantik rupawan,
kupetik dijalan sekuntum bunga,
untuk sekarang dipersembahkan.

DAYANG SUMBI :
Terima kasih atas persembahan.
Kehidmatan tuan bunda hargakan.
Tapi sekali lagi bunda peringatkan,
bahwa rimba bukan tempat manusia.
Rimba adalah tempat Siluman,
mahluk kotor yang dikutuki Dewata.

SANG KURIANG :
Tapi kalau bukan dirimba,
dimanakah tempat hamba ?
Bergaul dengan sesama manusia,
hamba merasa jadi mahluk celaka.

DAYANG SUMBI :
Tuan anak ibu yang dicinta,
tiada alasan merasa celaka.

SANG KURIANG :
Ibu, semua manusia yang bernama manusia,
lahir kedunia ada beribu ada berbapak.
Hanya hamba seorang,
lahir dari kandungan ibunda dengan tak tahu siapa bapak.
Sudah berulang-ulang hamba bertanya :
siapa gerangan bapak hamba,
dimana gerangan dia berada ?
Tapi ibunda selalu berahasia.
Sedang orang lain selain bunda,
kalau ditanya, selalu menyawab sama :
„Bagaimana kami tahu ?
Lahirmu, kami tak tahu !"

Kebisuan disekitar, bunda,
bukan keadaan tidak menyiksa.

DAYANG SUMBI :
Wahai, kasihan anakku sayang !
Baiklah, mulai sekarang
ibunda akan berterusterang.

Tapi sebelum keterangan diberikan,
dengar dulu, dengar dulu kebenaran
yang telah menyadi darah daging ibunda
dan mesti  jadi darah dagingmu pula.

Bahwasanya segala peristiwa
yang terjadi atas diri manusia,
adalah kehendak Dewata-Raya
yang menyadilkan.
Dan manusia tiada daya-upaya;
segala geraknya karena ada
yang menggerakkan.

Maka apabila ibunda tuan
dahulu mengalami keajaiban,
jangan tuan membatasi pandangan
kepada bunda.
Tapi memandanglah kepada Dewata
yang kuasa menggerakkan segala
atas mauNya.


SANG KURIANG :
Keajaiban apakah gerangan
yang telah, bunda alami
atas kehendak Dewata yang menggerakkan ?

DAYANG SUMBI :
Dahulu, disiang hari yang panas sangat,
dikala bunda seorang diri
menenun disana ditempat sepi,
tiba-tiba diserang lesu yang sangat hebat,
sehingga terlena tidak berdaya,
setelah taropong*) jatuh kekolong.

Berkatalah bunda tuan :
barangsiapa suka menolong
mengambil taropong dari kolong,
dia akan jadi kawan
sekiranya perempuan;
dia akan jadi suami
sekiranya laki-laki.

Dengan tak disangka-sangka
muncul budak laki-laki
mengunjukkan taropong tadi.
Dan bunda yang tak berdaya,
terkejut lalu terlupa,
tidak sadar akan diri;
biar budak menghampiri.

Semenyak itu bunda merasa bahwa bunda berbadan dua.
Dan Sembilan bulan kemudian
tuanpun lahir dari kandungan.

SANG KURIANG:
Wahai, suatu keajaiban luarbiasa !
Hampir tidak percaja hamba mendengarnya.
Kalau begitu lahir hamba kedunia
berbapakkan seorang budak hanya.

DAYANG SUMBI :
Ketahuilah, nak, ketahuilah,
 bahwa yang menyadi bapak hanyalah
sekadar jadi lantaran supaya bunda
mengandung tuan atas kehendak Dewata.

SANG KURIANG :
Dimanakah itu budak
yang hanya sekadar jadi lantaran ?
Sudah matikah dia,
atau masih hidup gelandangan ?

DAYANG SUMBI :
Bunda sendiri nanti tunjukkan.
Tapi sebelumnya dengarlah pesan :
Didalam, memandang kehidupan
jangan tuan disilaukan penglihatan;
didalam menilai manusia
jangan hanya terbatas pada lahirnya.
Memandanglah kepada Dewata
 yang selalu ada dimana-mana,
ada dibalik segala mahluk
yang berlainan -didalam bentuk.

SANG KURIANG:
Jadi dimanakah dia,
itu Dewata berbentuk budak ?

DAYANG SUMBI Kalau tuan sekarang
berpaling kebelakang,
sekaligus tuan akan berhadapan
dengan bentuk yang ditanyakan.

SANG KURIANG  :
Wahai, 'ini Si Tumang' Budak bisu, bungkuk, pincang !

Duh, ibu, alangkah pedih rasanya hati
merasakan kenyataan sepahit ini.
Mengapa.hamba dan bukan orang lain
yang diturunkan Dewata secara main ?

Sebelum hamba tahu siapa bapak,
hamba selalu menyauhi orang banyak.
Dan sekarang setelah mengetahui,
hidup hamba akan terasa bertambah sunyi.

DAYANG SUMBI:
Anakku, apa yang hendak kita sesalkan ?
Kita manusia tiada daya-upaya.
Sekarang serahkanlah segalanya
kepada Dewata-Raya yang menjadikan.

SANG KURIANG :
Mari, Tumang, kita bersama-sama pergi.
Dihadapanku gelap, lebih gelap dari tadi.

Sang Kuriang dan Si Tumang turun.

DAYANG SUMBI: Bibi!

BUJANG ( muncul) : Ja, Nyai.

DAYANG SUMBI:
Rahasia telah dibukakan,
keterangan telah diberikan,
tapi hati seorang ibu tetap merasa melang.
Karena itu pergilah bibi ;
Sang Kuriang mesti diikuti,
dan kalau tertimbang perlu, ajaklah,dia pulang.

BUJANG :
Baik, Nyai, segala titah bibi jalankan dengan segera.

Semuanya turun.

Dihutan. Raja Siluman muncul diiringkan oleh para pengikutnya. Mereka menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.

RAJA SILUMAN:
Dimana manusia mempercajai manusia,
disanalah kita
melihat lawan kuat sentausa.

PARA SILUMAN:
Dan kita celaka!

RAJA SILUMAN:
Dimana manusia meragui manusia,
disanalah kita
melihat lawan minta digoda.

PARA SILUMAN :
Dan kita menggoda !

RAJA SILUMAN :
Dimana manusia memusuhi manusia,
disanalah kita
mendapat kawan untuk dipuja.

PARA SILUMAN :
Dan kita bahagia!

SEMUA :
Mari ! Mari kita siap sedia
menghadapi manusia minta digoda,
buat dijadikan kawan untuk dipuja.

RAJA SILUMAN :
Sebagian mesti kesebelah sana.
Sebagian lagi kesebelah sana !

Raja Siluman dan pengikutnya turun.
Sang, Kuriang muncul diiringkan Si Tumang

SANG KURIANG :
Dikatakan segalanya kehendak Dewata-Raya ;
disebutkan manusia tiada daya-upaya ;
semuanya hendak menunyukkan keajaiban
yang minta ditelan dengan kepercayaan.
Tapi yang nyata sekarang aku bertanya :
tidak bohongkah ibuku berceritera ?

Ibuku yang sangat cantik,
yang membuat aku sendiri jatuh cinta,
benarkah dia pernah dipetik
oleh Si Tumang, mahluk jelek tampadaksa.

Wahai, keajaiban atau kebohongan,
itulah soal yang sekarang dihadapkan.
Tapi kepada siapa aku mesti bertanya,
selain kepada Si Tumang yang bisu pula,
yang sekarang berjongkok dihadapan
justru sebagai mahluk yang meragukan ?

Tumang! Siapa kau sangat kusangsikan.
Dan jika benar kau bapakku,
kau membuat aku malu.
Akhirnya kau bagiku merupakan beban
yang akan membuat kepalaku
runduk tertunduk selalu.

SUARA RAJA SILUMAN:
Memang didunia tiada beban
seberat derita lantaran menanggung malu dan ragu.

SUARA SEMUA SILUMAN :
Tapi didunia tiada beban
yang tidak bisa dihilangkan supaya tidak mengganggu.

SANG KURIANG :
Hei, suara siapa yang bergema ditelinga ?
SUARA RAJA SILUMAN :
Suara hatimu keluar dari mulutku.

SANG KURIANG :
Kalau begitu, tampillah kau yang punya mulut,
berhadapan dengan hatiku yang pantang takut.

SUARA RAJA SILUMAN :
Ha--ha-ha, bicaramu pantang 'takut.
Tapi sebenarnya kau pengecut.

SUARA PARA SILUMAN :
Pengecut ! Pengecut ! Pengecut !

SANG KURIANG :
Tutup mulutmu !
Tampilkan dirimu!

SUARA PARA SILUMAN :

Inilah aku,
tampil dikananmu.

SANG KURIANG :
Dimana?

SUARA PARA SILUMAN:
Disini, dikirimu.

SANG KURIANG: Dimana ?

SUARA PARA SILUMAN:
Disini, dikananmu.

SANG KURIANG:
Jahanam! Keparat ! Bedebah

Dibikinnya aku marah.
Ditipunya mentah-mentah.
Tapi siapa itu yang datang,
menuju kesini dengan berlenggang ?

Bujang muncul

BUJANG:
Bibi membawa titah ibunda,
mengharap tuan pulang segera.

SANG KURIANG :
Tapi hamba tidak akan pulang,
 sebelum hati melihat terang.

BUJANG :
Apakah gerang
yang kurang terang ?
Bukankah segala yang,ditanyakan
mendapat jawab yang memuaskan ?

SANG KURIANG :
Keajaiban atau kebohongan,
itulah jawab yang bunda berikan.
Dan sekarang hamba bertanya :
kepada siapa mesti bertanya ?

BUJANG :
Mengapa tuan mesti bertanya
kepada Siapa mesti bertanya ?
Serahkanlah segalanya kepada Dewata ;
kita manusia tiada daya-upaya.

SANG KURIANG :
Bohong ! Kalau sekarang hamba
membunuh bibi dengan segenap tenaga,
bukan berarti hamba tiada daya-upaya.

BUJANG :
Ampun, tuanku !
Bibi hanya, sekadar darma
pengucap kata dari yang mengatakan,
pembawa titah dari yang menitahkan.

SANG  KURIANG :
Kalau begitu,
segeralah bibi kembali.
Pengucap kata dari yang mengatakan
bukan mahluk yang hamba butuhkan.

BUJANG :
Bibi pamit membelakang.
Tapi jawaban apakah gerang
yang mesti dibawa pulang ?

SANG KURIANG:
Telah hamba katakan tadi :
hamba tidak akan kembali,
sebelum terang didalam hati.

Bujang turun.

SANG KURIANG :
Kalau semua orang pada membisu
lantaran bisu dan tidak tahu,
hanya kepada diri sendiri
aku leluasa bertanya-tanya.
Dan jawaban dari diri sendiri,
 itulah kebenaran satu-satunya.

Tapi kalau aku menanya aku,
jawabannya: tidak tahu.
Kalau begitu, ketidak tahuan,
itulah satu-satunya kebenaran.

Dan sesungguhnya aku tidak mengetahui
dari mana aku datang,
siapa yang menyebabkan,
sejak kapan dikandung ibu.
Bahkan aku tidak tahu dengan pasti
bahwa aku pernah datang
dari perut perempuan
yang kini mengaku ibu.

Ah, Ketidak tahuan ! Achirnya aku mesti mengaku
bahwa sdiap yang kusaksikan, itulah yang aku tabu.
Inilah kebenaran yang sebenarnya,
yang menghentikan aku bertanya-tanya.

Tumang, kau bagiku bukan apa-apa
selain mahluk cacat sebagaimana nampak dimata.
Dan itu Dayang Sumbi-yang mengaku bunda.
adalah seorang perempuan cantik dan lebih tidak.

Si Tumang mau merangkul.

SANG KURIANG :
Hei, engkau mau merangkul aku,
lantaran mengaku jadi bapakku ?
Tidak ! Pergilah kau diauh- kesana.
Aku tak sudi lagi bertanya-tanya.

Sudah cukup aku menderita,
disebabkan orang lain
yang pada membisu rtentang bapakku.
Sekarang mesti ditambah pula, disebabkan orang lain
yang mengatakan bahwa kau bapakku ?
Tidak ! Mulai sekarang hanya aku,
dan bukan, orang lain,
yang akan kujadikan peganganku.

Jikalau engkau berkeras
juga mengaku diri menjadi bapak,
silakan, itu adalah pengakuanmu.
Aku hanya menunduki yang benar bagiku :
aku tidak menyaksikan
siapa yang melahirkan.

Maka jikalau engkau berkeras juga
mengaku diri menyadi bapak,
salah seorang dari kita mesti hilang ;
demikianlah seharusnya,
sebab kebenaran tidak mungkin ada dua.

Si Tumang merangkul.
SANG KURIANG :
Berani juga kau merangkul aku,
mempertahankan kebenaranmu ?
Kalau begitu, terimalah ini tikaman,
sebab kebenarankupun wajib dipertahankan!
(menikam)

PARA SILUMAN (muncul):
Hura, darah lah tertumpah!
Darah merah ! Darah basah !
Nyawa lah melayang !
Bangkai lah telentang !

RAJA SILUMAN:
Mari kita bersedia
memestakan pembunuhnya

SANG KURIANG :
Siapa kalian ?

RAJA SILUMAN:
Kami Siluman yang menunggui ini hutan ;
 yang tadi dicari ditanyakan,
sekarang siap mengabdi tuan.

SANG KURIANG :
Mengapa mengabdi ?

RAJA SILUMAN:
Karena terang tuan bukan sembarang orang ;
tuan menemui kebenaran mutlak
yang tidak ditemui orang banyak.

SANG KURIANG :
Tapi secara apa
kalian akan mengabdi ?

RAJA SILUMAN :
Dimana tuan membutuhkan kami,
disana kami menyediakan diri.
Dimana tuan menghadapi kesulitan,
Disana kami memberikan bantuan.

SANGKURIANG :
Ah, aku belum tahu
Bantuan apakah gerang
Yang mesti kuminta padamu
Dalam keadaan sekarang

Memang ada niatku
Hendak meminang Dayang Sumbi
yang mengaku jadi ibuku,
tapi itu perkara gampang

RAJA SILUMAN  :
Tidak kaudengar kawan,
isi kandungan hatinya
setelah menikam akan meminang;
menghancurkan untuk membangunkan.

PARA SILUMAN :
Itulah sikap jantan!

RAJA SILUMAN :
Itulah pahlawan
tiada dua didunia
Sebab itu yang ditikam dan dipinang,
bukan orang banyak dijalanan.

PARA SILUMAN :
Hidup pahlawan kita!

RAJA SILUMAN :
Mari kita angkat dia
keatas pundak kita
Dan ini bangkai Si Tumang
kita bawa dibelakang.

PARA SILUMAN :
Mari! Mari kita berpesta
memestakan pahlawan kita
yang cuma satu didunia!

Semuanya turun.

Dihalaman rumah sang Kuriang muncul sambil bernyanyi. Dan mendengar nyanyian Sang Kuriang, dayang Sumbi muncul dari rumah.

SANG KURIANG :
Dengar!
Dengar suara genderang
Bertalu talu dalam hatiku:
Aku datang! Aku datang!

Siapa menyambut aku
Kepala mesti ‘tertunduk
Siapa menghambat jalan,
Pasti darah bercucuran.
Dengar!
Dengar suara genderang
bertalu-talu dalam hatiku:
Aku datang! Aku datang!

DAYANG SUMBI :
Silakan, anakku sayang.
Sejak tadi kau kunanti-nanti.
Bagaimana khabar sekarang;
sudah terangkah didalam hati?

SANG KURIANG :
Terang benderang
laksana siang,
Sebab setelah menanya diri,
hamba tahu dengan pasti,
bahwa  Si Tuumang bukan bapak,
dan tuanpun bukan ibunda.
Inilah kebenaran yang sebenar-benarnya :
jawaban atas tantangan hidup bertanya.

DAYANG SUMBI:
Aku bukan ibunda ?
Ah, jangan tuan bercanda.
Dimana pula Si Tumang ?.
Sendirian saja tuan pulang.

SANG KURIANG :
Si Tumang keras kepala
mengaku diri menjadi bapak ;
meskipun hamba menolak,
namun dia malah bertindak. 
Akhirnya terpaksa dia,ditikam dibunuh,
sebab tiada jalan lain yang mesti ditempuh.

DAYANG SUMBI:
Si Tumang dibunuh ? Ya, Dewata !
Dihadapanku berdiri anak durhaka.
Sang Kuriang, tahukah tuan
bahwa tuan sudah melakukan
perbuatan terkutuk,
lantaran silau memandang bentuk ?

SANG KURIANG :
Hamba tidak silau tidak buta,
bahkan sebenarnya sudah lama
hamba merasa tertarik
oleh wanita cantik
yang sekarang ada dihadapan
berkilauan menggiurkan.

DAYANG SUMBI :
Sang Kuriang !

SANG KURIANG :
Diseluruh Parahiangan
hamba tahu tak ada perempuan
yang lebih menarik dari  wanita cantik
yang sekarang ada dihadapan
berkilauan menggiurkan.


DAYANG SUMBI :
Sang Kuriang !

SANGKURIANG :
Itu wanita cantik menarik,
mau tak mau sekarang hamba pinang.

DAYANG SUMBI :
Sang Kuriang !

SANG KURIANG :
Hamba pinang untuk dipetik !

DAYANG SUMBI:
Sang Kuriang '
Tuan kemasukan,
berani meminang
ibu yang melahirkan ?

SANG KURIANG :
Siapa yang menyaksikan
bahwa tuan ibuku yang melahirkan ?
Siapa yang menyaksikan
bahwa hamba lahir dari kandungan tuan ?

DAYANG SUMBI:
Siapa yang menyaksikan ? Hamba !
Hamba yang mengandung tuan,
hambalah yang menyaksikan
tuan lahir dari kandungan hamba.

SANG KURIANG :
Tapi hamba tidak menyaksikan.
Hamba tidak pernah menyaksikan
siapa yang melahirkan.
Dan demi itu kebenaran
yang sebenarnya, yang mutlak,
hamba tentang, hamba tolak
setiap pernyataan orang lain
yang sewaktu-waktu bisa dibikin.

DAYANG SUMBI:
Sang Kuriang, demi Dewata :
tuan lahir dari kandungan hamba.
Dan selama tuan jadi anak hamba,
tidak mungkin tuan meminang hamba,
 tidak mungkin anak mengawin bunda.

SANG KURIANG :
Demi apapun juga tuan
menyatakan pengakuan tuan,
tapi hamba hanya menunduki yang benar lagi hamba :
hamba tidak pernah tahu
atas kandungan dan perbuatan siapa
hamba datang kedunia.

Hamba hanya tahu
bahwa bagi hamba sudah lama
 tuan menarik untuk dipetik,
bukan menarik sebab mendidik.

Maka demi itu kenyataan yang nyata,
sekali lagi tuan kupinang dan mesti mau.

DAYANG SUMBI:
Ya, Dewata! Apa dayaku,
mahluk tiada daya-upaya?
 Sang Kuriang, idzinkanlah aku berpikir
dengan hati yang lega.

SANG KURIANG :
Silakan tuan menanya diri.
Nanti hamba datang kembali.

Sang Kuriang turun.

DAYANG SUMBI:
Begin inilah kejadiannya ;
tidak jauh dari sangkaan semula :
anakku yang kulahirkan kupelihara,
meminang aku lantaran dendam asmara.
Sekarang hatiku bingung bukan buatan,
memikirkan jawab yang mesti diberikan.
(tepekur)
Bibi !

BUJANG (muncul):
Ya, Nyai.

DAYANG SUMBI:
Dihadapanku
menganga jurang yang curam-seram.

BUJANG :
Bibi tahu;
bibi tadi mendengarkan diam-diam.

DAYANG SUMBI:
Sukurlah bibi sudah tahu.
Mulai sekarang
Jangan bibi menjauhi aku.

Sebagai ibu terhadap anak satu-satunya,
tiada tega*) aku menyakitkan hatinya.
Kepada anak, bagaimanapun juga,
seorang ibu tetap sayang tetap cinta.

Tapi bahwa kepadanya aku mesti tunduk,
mesti melakukan perbuatan terkutuk,
selama ada Dewata yang kutaati-hidmati,
tidak nanti aku akan menyerahkan diri.

Menempuh jalan keselamatan,
selama masih bisa dijalankan,
itulah kewajiban kita kini.

BERDUA:
Semoga Dewata menyertai !

DAYANG SUMBI :
Sekarang panggillah Sang Kuriang.
Dan bibi boleh mendengarkan dibelakang.

Bujang turun.
Sang Kuriang muncul.

DAYANG SUMBI
Sang Kuriang, kalau tuan betul meminang,
pinangan tuan tidak akan hamba. tolak.
Tapi sebagai perempuan yang dipinang,
hamba berhak memajukan carat mutlak.

SANG KURIANG :
Katakanlah !

DAYANG SUMBI :
Jauh dari mata dan telinga
yang melihat dan mendengar,
ditempat itulah
hamba mau menyerah.
Karena itu bendunglah Citarum
sampai teicipta telaga luas ;
bikinkan pula sebuah perahu buat kita berdua
berlajaran diatasnya.

Sanggupkah tuan mengabulkan ?

SANG KURIANG :
Menyiapkan telaga apa susahnya !
Menyediakan perahu apa sukarnya !

DAYANG SUMIBI:
Tapi telaga dan perahu mesti siap
sebelum fajar besok menyingkap gelap ;
kesiangan berarti kegagalan,
berarti tuan tidak bisa memenuhi,
berarti pula perkawinan tidak jadi.

SANG KURIANG :
Ha-ha-ha, itu cuma
dan tidak ada lebihnya ?
Kalau begitu, bersiap-slaplah tuan;
besok pagi kita pasti berlayaran !

DAYANG SUMBI :
Kusangka permintaanku akan membikin sukar,
Tapi  dia, malah tertawa lebar.
Wahai, terlambat aku teringat,
bahwa dia telah membunuh sesama mahluk.
Dan bagi Siluman mahluk terkutuk :
ada pembunuh berarti ada, sahabat.





2. MALAM HARI :














Dihutan. Sang Kuriang asyik menyiapkan pembikinan perahu yang hampir selesai.

SANG KURIANG :
Malam ini
kuperas segenap tenagaku
untukmu, perahu!
Tapi besok pagi
'tiada laki-laki diatas dunia
melainkan aku!

Malam ini
kuperas segenap tenagaku
dan keringatku.
Tapi besok pagi
matahari akan keluar melulu
untuk 'nyinari aku!

Ha , itu Raja Siluman datang
Tentu membawa khabar girang

Raja Siluman muncul.

SANG KURIANG :
Bagaimana ?
Sudah sampai mana ?

RAJA SILUMAN:
Citarum sudah terbendung,
airnya sudah terkurung ;
dan sekarang
mulai pasang.
Dengan tak usah menunggu lama,
telaga luas Pasti menjelma.

SANG KURIANG :
Pasti?


RAJA SILUMAN:
Pasti !
Kalau tidak, jangan kami
disebut Siluman Sakti.

SANG KURIANG :
Perahu pasti selesai, telaga pasti menjelma.

BERDUA :
Pasti akan tercapai
apa yang dicita-cita

SANG KURIANG:
Tapi setelah hatiku
digembirakan kabar berita,
kuingin mataku
digembirakan bukti yang nyata

RAJA SILUMAN:
Mari, mari kita melihat
bukti yang kami perbuat.

Kedua-duanya turun.
Dihalaman rumah. Dayang Sumbi tampil dari rumah.

DAYANG SUMBI:
Riuh gemuruh suara air,
alamat telaga sedang dibangun.
Riuh gemuruh dalam dadaku,
karena hatiku naik turun.

Ah, hatiku,
hati manusia yang tahu tiada daya-upaya,
 tapi juga hati seorang ibu
yang diancam bahaya.

Sebagai manusia,            
ya, Dewata!

Hatiku turun kebawah telapak kakiMu,
hidmdt menyembahkebesaranMu,
menyerah,
mengalah
kepada kehendakMu
yang benar selalu.

Tapi sebagai ibu,
ya, anakku!
Hatiku naik keatas puncak citamu,
keras menolak keinginanmu,
bertindak,
berontak
menentang kebenaranmu
yang tidak benar bagiku.

Ah, hatiku,
hati manusia yang tahu tiada daya-upaya,
tapi juga hati seorang 'ibu
yang diancam bahaya.

Bujang muncul diiringkan Ardasim dan kawan-kawannya.

ARDASIM :
Ada apa, Nyai,
kami dipanggil -dimalam sepi ?

DAYANG SUMBI :
Mamang, malam ini
bukan malam sepi.
Malam ini malam seram,
malam yang berat mengancam.

Anakku Sang Kuriang, mulai tadi Siang   
menyatakan pendapatnya
yang tidak disangka-sangka.
Dia tak mau percaja
bahwa aku ini ibunya.

ARDASIM :
Tapi jika semua orang
sependapat dengan Sang Kuriang,
apa yang hendak kita katakan salahkan?

Kami semua tidak menyaksikan
kapan Sang Kuriang dilahirkan.

DAYANG SUMBI:
Mamang, kalau semua orang
sependapat dengan Sang Kuriang,
itu terserah kepada mereka.
Tapi bagiku : aku adalah ibunya

Kalau aku bukan ibu Sang Kuriang,
aku tidak akan menolak dia meminang ;
dan, mamang sekarang
tidak akan diminta datang.

Apakah mamang setuju,
anak mengawin ibu ?

ARDASIM :
Anak mengawin ibu ?
Itu mesti disapu!
Kalau betul Nyai ibu Sang Kuriang,
kalau betul Sang Kuriang meminang,
Sang Kuriang mesti kami buang.

BERSAMA :
Sang Kuriang mesti kami buang !

DAYANG SUMBI :
Nanti dulu!
Dengar dulu.

Sebagai ibu yang kasih-sayang kepada anak,
pinangan anakku tidak terang-terangan ditolak.
Aku berjanyi mau kawin dengan dia,
asal besok pagi sedia perahu dan telaga.

Ternyata sekarang
perahu dan telaga sudah hampir siap.
Sebab Sang Kuriang
menyuruh para Siluman ikut menggarap

ARDASIM :
Jadi sekarang Nyai ingin
supaya 'tidak jadi kawin ?
Supaya perahu dan telaga besok pagi tidak ada ?
 Itu gampang !
Itu mudah!
Siluman kita halaukan.
Perahu kita rusakkan.
Telaga kita hancurkan.

BERSAMA :
Siluman kita halaukan.
Perahu kita rusakkan.
Telaga kita hancurkan.

DAYANG SUMBI:
Nanti dulu!
Dengar dulu.

Kewajiban kita, mamang,
 menyadarkan Sang Kuriang
dengan jalan kedewataan,
bukan dengan kekerasan.

Karena itu ku menginginkan
supaya kalian membakar hutan ;
 biar apinya bersinar-sinar
menyerupai sinar fajar ;
biar anakku Sang Kuriang melihat
Siang akan datang ;
biar maksudnya diurungkan,
lantaran merasa kesiangan.

ARDASIM :
Nyai, Sang Kuriang bukan anak kemarin
yang bisa diperlakukan secara main

DAYANG SUMBI:
Sang Kuriang memang bukan anak kemarin,
tapi Sang Kuriang manusia.
Dan kepada manusia aku jakin :
ada Dewata daIam dirinya.

Dan selama ada Dewata,
didalam diri manusia,
kewajiban kita sebagai hamba Dewata
bukan menundukkan membinasakan,
tapi menyalakan api-kedewataan
yang bersemajam ditubuh lawan.

Semoga api pembakar hutan
menyadi api-kedewataan
yang bersinar terang-benderang
dalam tubuh Sang Kuriang!

ARDASIM :
Kalau demikian keinginan Nyai ;
kalau demikian keyakinan Nyai,
mari kawan,
kita menjalankan darma kita ;
Dewata yang memutuskannya.

BERSAMA :
Kita menyalankan darma kita ;
Dewata yang memutuskannya
ARDASIM  (sambil terus turun):
Bahu-membahu — hu,
hutan kita bakar — kar, k
arena Sang Anak nak,
nakal malancidar !

BERSAMA :
Bahu-membahu — hu,
hutan kita bakar — kar,
karena Sang Anak — nak,
nakal malancidar !

Semuanya turun.

Dihutan. Sang Kuriang muncul mendapatkan perahu, melanjutkan bekerja.

SANG KURIANG :
Malam ini
kuperas segenap tenagaku
untukmu, perahu!
Tapi besok pagi
tiada laki-laki diatas dunia
melainkan aku!

Malam ini
kuperas segenap tenagaku
dan keringatku.
Tapi besok pagi
matahari akan keluar melulu
untuk 'nyinari aku!

Ditempat jauh nampak memancar cahaya terang.
Dayang Sumbi muncul diiringkan Bujang.

DAYANG SUMBI :
 perahu yang hampir selesai
akan terbengkalai tidak terpakai;
berlajaran mesti diurungkan,
perkawinan mesti dibatalkan.

Lihat ! Fajar di Timur sudah keluar,
berarti tuan kesiangan,
berarti semua janji telah tuan langgar.

SANG KURIANG:
Fajar sudah keluar ?
Mustahil! Tak bisa jadi !
Siapa yang kurangajar, berani membohongi ?

Hei, para Siluman !
Dimana kalian ?

RAJA SILUMAN DAN PENGIKUTNYA (muncul) :
Ini disini!
Dimata tuan kami menampak.
Untuk 'rang lain kami tak ada.

SANG KURIANG :
Lihat itu cahya yang memancar !
Kalaupun betul fajar mendadak keluar,
disebabkan kemampuan Dayang Sumbi
melebihi kemampuanku. mana janjimu
akan memberi bantuan
menghindarkan kegagalan ? Mana ?

RAJA SILUMAN :
Ah, ah, mengapa tuan
disilaukan penglihatan ?
Itu 'cahya yang memancar
bukan cahya sinar fajar.

Lihat! Dimana-mana kelam menghitam
Karena hari memang masih jauh malam

Tuan tidak melanggar janji,
Tapi tuan diperdayakan.


SEMUA SILUMAN :
Itu cahja yang memancar,
cahya hutan yang dkakar!
SANG KURIANG:
Kurangajar itu mahluk
yang berani memperdayakan

Hei, Dayang Sumbi !
Sia-sialah tuan membohongi,
menyebut fajar
kepada sesuatu yang bukan fajar !
Sia-sialah tuan berbuat
curang mau mengabui mata orang !

DAYANG SUMBI:
Sang Kuriang, percayalah :
itu cahya yang memancar
adalah cahaya fajar.

SANG KURIANG:
Bukan !

DAYANG SUMBI:
Itu cahja yang memancar,
demi kehendak Dewata, adalah cahaja fajar
untukmu dan untukku.

SANG ,KURIANG:
Katakanlah kehendak Dewata!
Bualkanlah nama Dewata !
Tapi apa arti Dewata bagiku,
kalau aku tak pernah tahu
atas kehendak siapa
aku ada didunia ?

Hei, Dayang Sumbi !
Bagiku
tiada Dewata melainkan aku!

Maka demi kuasaku
yang kutunduki;
demi diriku
yang tidak sudi dibohongi,
sekali tuan menerima pinanganku,
tuan sekarang mesti
dan akan dipaksa jadi isteriku!

DAYANG SUMBI:
Sang Kuriang!

SANG KURIANG:
Jangan tuan lari !

DAYANG SUMBI:
Sang Kuriang !

SANG KURIANG:
Jangan tuan lari !

PARA SILUMAN :
Kejar Kejar ! Terus kejar !
Kejar Kejar ! Terus kejar

DAYANG SUMBI (menghunus kujang) *)
Ini kujang ditanganku,
ujungnya menunyuk dada.
Tuan berani meraba aku,
tuan akan tahu akibatnya.

SANG KURIANG :
Dayang Sumbi ! Jangan tuan
mengira bahwa tanganmu
lebih kuasa dari tanganku
dalam hal menentukan putusan.

Lemparkan itu kujang,
sebelum hamba menangani !

DAYANG SUMBI:
Sang Kuriang, demi kuasa Dewata,
sekali ditanganku,
ini kujang tetap ditanganku.

SANG KURIANG :
Kalau demikian sikap tuan,
demi kuasaku,
sekali maju
harnbapun berpantang mundur !
(maju hendak merebut kujang).

SEMUA SILUMAN :
Dirgahayu Sang Kuriang !

DAYANG SUMBI (rebah setelah menikam diri) :
Ya, Dewata ! KepadaMu kuserahkan sukmaku.
 Sang Kuriang, anakku !
Aku adalah ibumu.

BUJANG :
Duh, Nyai !

PARA SILUMAN :
Hura, darah lah tertumpah !
Darah merah! Darah basah !
Nyawa lah melayang !
Bangkai lah telentang !

SANG KURIANG :
Diam ! Diam!
Ini mayat
bukan sembarangan mayat.

Untuk membela kejakinan
dia sudah berani mengambil keputusan
dengan menghapuskan diri.

Tinggallah aku
mengambil keputusan
terhadap adaku sendiri.
(mengambil kujang dari tangan mayat).

RAJA SILUMAN : Sang Kuriang !

SANG KURIANG :
Kalau dia berani membunuh diri demi
yang diyakini,
aku, Sang Kuriang,
akan menandinginya
dengan keberanian membunuh
diri atas kuasa sendiri.

SEMUA SILUMAN :
Sang Kuriang !

SANG KURIANG (menelungkupkan perahu):
Ini perahu yang belum selesai,
biar tertelungkup terbengkalai.
(menikam diri)
Dayang Sumbi, dengan begini
kau dan aku bukan ibu dan anak lagi.

RAJA SILUMAN:
Akhir,akhirnya dia percaya
kepada keagungan bangkai manusia.

PARA SILUMAN :
Dan kita celaka!

RAJA SILUMAN :
Mari kita tinggalkan mereka ;
kedua-duanya bukan urusan kita.

Raja Siluman dan pengikutnya turun.

BUJANG :
Begini inilah kejadiannya ;
kedua-duanya berani sampai keakhirnya.
Dan aku yang ditinggalkan,
'tinggal berairmata merasakan kesedihan.

Ardasim dan kawan-kawannya muncul.

ARDASIM :
Wahai, kedua-duanya sudah didamaikan!
Tiada lagi yang mesti kits lakukan
selain menguburkan.

BUJANG :
Kedua-duanya gugur dalam kejujuran;
sama-sama kuat dalam membela kebenaran.
Kedua mayatnya wajib diselenggarakan
dengan upacara kebesaran.

BERSAMA :
Mari kita selenggarakan dengan upacara kebesaran !
(mengusung kedua mayat).

ARDASIM :
Jejak langkahnya kita jadikan teladan.
SEMUA (sambil terus turun) :
Mana yang buruk kita jauhkan singkirkan,
mana yang baik 'kita jadikan hiasan ;
demikian kewajiban kita yang ditinggalkan.

SELESAI
Jakarta, Sept. 54 - April 55


Mengenai penulis: 

Utuy T. Sontani (1920-1979)

Utuy Tatang Sontani  adalah seorang sastrawan Angkatan 45 terkemuka dilahirkan  di Cianjur, 1 Mei 1920. Pada tahun 1965 ketika sedang mengunjungi Beijing atas Undangan pemerintah China dalam rangka perayaan 1 Oktober disana, Utuy  menghadapi kenyataan yang memaksanya menetap disana akibat peristiwa G30S di tanah air.
Selanjutnya akibat gejolak politik di Beijing sendiri yang terjadi tahun 1966 ( Revolusi Kebudayaan) Utuy akhirnya menetap di Moskow Uni Sovyet, (sekarang Rusia) hingga wafatnya , 17 September 1979 ,saat ia  meninggalkan seorang istri dan 5 orang anak.
Karyanya yang pertama adalah  sebuah novel sejarah yang diberi judul “Tambera” (1948 versi bahasa Sunda 1937) sebuah novel sejarah yang berlangsung di pulau banda Kepulauan Maluku pada abad ke-17. Novel ini pertama kali dimuat dalam koran daerah berbahasa Sunda Sipatahoenan dan Sinar Pasundan pada tahun yang sama.
Setelah itu Utuy menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, : Orang-orang Sial (1951),  

Karya buku lainnya ( selain Tambera)
Orang-orang Sial: sekumpulan tjerita tahun 1948-1950 (1951)
Selamat Djalan Anak Kufur (1956)
Si Kampeng (1964)
“Si Sapar: sebuah novelette tentang kehidupan penarik betjak di Djakarta “(1964)
Kolot Kolotok
Di bawah langit tak berbintang (2001)
Menuju Kamar Durhaka - kumpulan cerpen (2002)


Karya lakon ( drama) lainnya  ( selain Sang Kuriang ini) :  
Suling (1948)
Bunga Rumah Makan, (1948)
Awal dan Mira (1952),
Sajang Ada Orang Lain (1954),
Di Langit Ada Bintang (1955),
Selamat Djalan Anak Kufur (1956),
 Si Kabajan (1959),
Tak Pernah Mendjadi Tua (1963)

Karya karya Utuy sempat diterjemahkan kedalam bahasa Rusia ( terutama “ Tambera”) Mandarin, Bahasa Inggris, Estonia dan Tagalaog.


sumber: 

SENI majalah bulanan no 11 dan 12 , Okober dan Desember 1955
http://id.wikipedia.org/wiki/Utuy_Tatang_Sontani
http://ibnuanwar.wordpress.com/2008/05/30/utuy-tatang-sontani/
foto Utuy: istimewa.


Pementasan Sang Kuriang di tahun 1955 di Bandung, 
Terlihat suasana Istana Kalinga tempat asal Dayang Sumbi
sumber foto: majalah SENI